Indosuara - Jaringan Buruh Migran Indonesia, organisasi pekerja migran yang berbasis di Hong Kong, Macau, dan Taiwan kembali mengingatkan pekerja migran dari bahaya penipuan. Dalam diskusi mutakhir yang dihelat JBMI, berkaca dari pengalaman Hong Kong, banyak penipuan yang terjadi terutama pada pekerja migran yang putus kontrak dan hendak mencari majikan baru.
Sringatin, Koordinator JBMI Hong Kong mengatakan yang harus dipahami agar terhindar dari penipuan, PMI harus tahu batas izin tinggalnya di luar negeri. Pekerja juga harus paham batasan kewenangan agen. Di Hong Kong, kata Sri, beberapa agen penyalur memang hanya membantu menyalurkan pekerja ke majikan, tetapi tidak mengurusi hal lain di luar itu.
PMI juga hendaknya juga paham keberadaan agen nakal dan ilegal, atau yang dikenal sebagai sub-agensi. Biasanya agen ini menganggap remeh urusan keimigrasian, karena beberapa kali JBMI menemukan kasus seperti itu. Alhasil, PMI lah yang dirugikan.
"Kita sebagai buruh migran, pahami aturan di negara itu. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan sebagai pekerja migran. Karena kalau tidak paham, PMI sangat rentan dirugikan," ucap Sri.
Hal yang harus diwaspadai juga adanya lowongan pekerjaan palsu. Ancaman ini bahkan tidak hanya menginta pekerja migran yang sudah ada di luar negeri, tetapi juga calon pekerja migran yang masih di Indonesia.
Menurut Sri, hal ini terjadi karena kurang terliterasinya masyarakat pada berita di sosial media. Seringkali apa yang ditampilkan di sosmed dianggap benar. Padahal belum tentu begitu.
"Hati-hati dalam menerima informasi. Penting juga untuk meyakinkan agennya terdaftar atau tidak. Yakinkan ketika kita tandatangan kontrak adalah kontrak beneran yang pasti akan diproses ke KJRI (Konsulat Jenderal Republik Indonesia)," ucap dia.
Sementara itu, Jeppy dari Pillar Hong Kong yang menjadi moderator mengatakan banyak sekali teman-teman PMI yang tidak tahu aturan tinggal setelah putus kontrak kerja. Karena ketidaktahuan ini, tidak jarang mereka yang hendak mencari majikan baru, luput untuk mengurus izin tinggal.
"Alhasil malah overstay," kata Jeppy.
Menurut Jeppy, ketika overstay, tentu VISA atau izin tinggal di Hong Kong menjadi tidak berlaku lagi. Memang selama COVID-19, perpanjangan VISA setelah putus kontrak menjadi lebih lama dari yang semula hanya dua pekan menjadi sebulan. Namun perlu dipastikan lagi apakah aturan ini berlaku atau tidak.
"Diiming-imingi pekerjaan tapi kemudian malah OS (overstay)," kata dia.