Foto dokumentasi Indosuara dan CNA.
CNA pernah memberitakan mengenai demonstrasi yang digelar di depan Kementerian Ketenagakerjaan (MOL), Minggu (24/11). Menurut pengamatan CNA pada waktu itu, mayoritas peserta demo tersebut adalah pekerja migran Indonesia (PMI) yang bergabung dalam organisasi buruh untuk Indonesia termasuk Serikat Buruh Industri Perawatan Taiwan (SBIPT) dan Gabungan Tenaga Kerja Bersolidaritas (GANAS).
Dalam pernyataannya, SBIPT menilai upah minimum yang jauh berbeda antara pekerja rumah tangga (PRT) migran dan juga sektor perawat migran dengan pekerja migran asing (PMA) sektor formal menyebabkan masalah diskriminasi struktural semakin parah.
Salah satu organisasi buruh asal Taiwan yang mempelopori demonstrasi tersebut adalah Taiwan International Workers' Association (TIWA). Melalui wawancaranya bersama CNA, Kevin Chang (張郁) aktivis TIWA mengemukakan pandangannya mengenai ketidakadilan sistem penggajian antara perawat migran atau PRT dengan PMA sektor formal.
Menurut Kevin, masalah ini berakar mulai dari sistem perekrutan tenaga kerja. Hal tersebut dikarenakan pekerja rumah tangga dan perawat lansia direkrut oleh keluarga secara satu per satu, yang berbeda dengan pola perekrutan pekerja di pabrik atau panti jompo.
Pola perekrutan pekerja di pabrik atau di panti jompo termasuk satu pemberi kerja mempekerjakan banyak pekerja secara seragam seturut undang-undang ketenagakerjaan di Taiwan. Bahkan, pada awalnya undang-undang tersebut disebut “Undang-Undang Pabrik”, bukan “Undang-Undang Standar Ketenagakerjaan”, ungkap Kevin yang juga turut aktif dalam demo hari Minggu tersebut.
Namun, hal ini tidak berarti bahwa pekerja rumah tangga perawat lansia tidak layak mendapatkan perlindungan hukum. Faktanya, pola perekrutan satu per satu dalam keluarga membuat pekerja rumah tangga perawat lansia lebih rentan dan lebih sulit untuk bernegosiasi atau mengajukan keluhan ketika menghadapi masalah, tambahnya.
“Sudah seharusnya ada peraturan yang dirancang khusus untuk melindungi pekerja rumah tangga perawat lansia,” ungkap Kevin, warga Taiwan yang fasih berbahasa Indonesia ini.
Namun, sambung Kevin, pemerintah Taiwan dengan sengaja menunda isu ini selama lebih dari dua dekade, yaitu isu terkait “Undang-Undang Pelayanan Rumah Tangga”.
Kevin pun mengungkapkan prediksi alasan pemerintah Taiwan menunda penyelesaian masalah tersebut karena pekerja rumah tangga dan perawat lansia pada kenyataannya menjadi alat untuk menekan biaya perawatan keluarga dan biaya reproduksi tenaga kerja di Taiwan.
“Jika perlindungan terhadap pekerja rumah tangga perawat lansia ditingkatkan, biaya hidup keluarga pekerja di Taiwan akan meningkat secara signifikan, yang pada akhirnya akan memaksa pemerintah untuk meningkatkan upah di Taiwan. Hal ini tidak menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi, dan juga tidak menguntungkan bagi para kapitalis yang menyumbang dana besar kepada partai politik,” ungkap Kevin menjabarkan prediksinya.
Sementara itu, disinggung mengenai sektor informal yang tak termasuk dalam UU Ketenagakerjaan Taiwan, Arif Sulistiyo, kepala KDEI kepada CNA mengatakan bahwa pembahasan mengenai sektor perawat dan pembantu rumah tangga di Taiwan, Arif mengonfirmasi bahwa ada rencana untuk melakukannya.
“KDEI akan membahas masalah tersebut dalam konferensi tenaga kerja yang diselenggarakan bersama dengan mitra Taiwan, katanya, dan "Kedua belah pihak perlu membahas secara khusus hal-hal teknisnya,” sambung Arif saat ditemui di kantornya.
Menurut Arif, selama ini hukum Taiwan menerapkan upah bulanan untuk perawat dan pembantu rumah tangga tidak boleh lebih rendah dari NT$20.000 (Rp9,8 juta) sementara itu untuk ABK migran jarak jauh tidak boleh lebih rendah dari US$550 (Rp8,6 juta).
Namun, Arif juga menambahkan bahwa mengingat risiko yang terlibat dalam pekerjaan sektor informal, dia berharap upah dasar PMI informal bisa dinaikkan setidaknya ke tingkat yang sama dengan upah minimum Taiwan.
Ditemui saat demonstrasi Minggu lalu, salah seorang aktivis PMI yang bekerja di sektor perawat lansia kepada CNA menuturkan bahwa tuntutan selain sektor informal yang tak dimasukkan dalam UU Ketenagakerjaan, masalah utama lainnya yaitu diskriminasi pemberian gaji antara sektor informal dan formal yang sangat jauh.
“Jam kerja dan risiko kerja sektor informal seperti perawat orang tua dan PRT jauh lebih membahayakan daripada sektor formal yang bekerja di pabrik. Namun mengapa gaji kami lebih rendah dari mereka? Jangan katakan alasannya karena sektor informal tak masuk dalam UU Ketenagakerjaan. Kami kerja 100% hanya diupah 40%, itu tidak adil!” Ungkap wanita yang tak mau disebut namanya ini.