Ramai diberitakan di media sosial mengenai PMI yang melahirkan sendiri di rumah majikan. (Sumber Foto : Layar tangkap video dari Garda BMI).
Kepada CNA, SBIPT menyebut video yang disebar majikan ke publik merupakan bentuk kekerasan terhadap pekerja. SBIPT pun menuntut perlindungan hak-hak dasar pekerja rumah tangga dan memastikan bahwa pelanggaran privasi serupa tidak akan terjadi di masa depan.
“Tindakan ini secara jelas menunjukkan kurangnya ruang hidup yang independen bagi pekerja perawat migran, serta tekanan luar biasa yang mereka hadapi dalam pekerjaan mereka. Selain itu, video dan foto yang sangat pribadi terkait proses kelahiran ini terus menyebar di internet,” tegas SBIPT.
Serikat Buruh Industri Perawatan Taiwan (SBIPT) pada Rabu (9/10) mengecam tindakan penyebaran dan distribusi konten yang dilakukan majikan terhadap Pekerja Migran Indonesia yang bersalin seorang diri di kamar tempat ia bekerja, menandai tak adanya ruang privasi bagi PMI sektor domestik.
Menurut mereka ini bukan hanya merupakan pelanggaran serius terhadap privasi pekerja migran tersebut, tetapi juga menunjukkan realita bahwa para pekerja migran perawat di rumah majikan seringkali kekurangan ruang privasi yang layak.
Setiap pekerja memiliki hak asasi manusia dan privasi dasar, terlebih lagi dalam situasi yang sangat sensitif dan pribadi seperti proses melahirkan. Majikan seharusnya menghormati martabat dan privasi pekerjanya dalam momen-momen pribadi seperti ini.
“Insiden ini menyoroti kondisi pekerja perawat migran yang berada dalam posisi tidak terlindungi di rumah majikan. Di mana batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi sering kali abstrak bahkan dalam momen paling pribadi sekalipun mereka terus diawasi dan direkam,” ucap SBIPT.
Viralnya berita ini dengan segala kesimpangsiurannya memicu ketidakpuasan kelompok majikan dan menuntut agar pekerja migran menjalani pemeriksaan kehamilan sebelum datang ke Taiwan serta tidak menggunakan asuransi kesehatan Taiwan.
Terkait hal ini, SBIPT dengan tegas menolak tuntutan tersebut karena hal ini mengabaikan hak-hak dasar pekerja migran dan memperburuk diskriminasi yang sudah ada.
Memaksa pekerja migran menjalani pemeriksaan kehamilan adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia mereka. Kehamilan adalah hak biologis dasar bagi setiap perempuan, dan tuntutan pemeriksaan kehamilan wajib dari majikan maupun pemerintah adalah tindakan yang tidak adil.
“Selain itu, sistem asuransi kesehatan nasional Taiwan adalah hak bagi semua orang yang tinggal dan bekerja di Taiwan, termasuk pekerja migran. Meminta pekerja migran untuk tidak menggunakan asuransi kesehatan dan membeli asuransi pribadi hanya akan memperburuk beban ekonomi yang sudah berat,” tegas SBIPT.
Sebagian besar pekerja migran datang ke Taiwan juga bukan atas dasar pilihan bebas, melainkan karena terjebak dalam utang besar bank.
Sebelum berangkat ke Taiwan, mereka biasanya harus membayar biaya agen yang sangat tinggi, yang memaksa mereka untuk berutang. Baik dalam kondisi hamil maupun masalah kesehatan lainnya, mereka sering kali tidak bisa berhenti bekerja, karena itu akan membuat mereka tidak bisa melunasi utang yang sangat besar tersebut.
“Utang ini sering kali mencapai jumlah yang sangat tinggi, bahkan bisa mencapai Rp40 juta,” kata SBIPT.
Sebelumnya, media sosial dan berita di Taiwan ramai membahas seorang PMI yang melahirkan sendiri di kamar tempatnya bekerja sebagai perawat. Video tentang kejadian ini menyebar luas, memicu rumor di kalangan masyarakat.
Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh SBIPT, pekerja migran yang baru berada di Taiwan selama lima bulan ini sudah dalam keadaan hamil ketika berangkat dari Indonesia.
Bersama suaminya, ia mencurigai kehamilannya, tetapi karena keterbatasan bahasa, ia tidak bisa berkomunikasi dengan majikan untuk menyampaikan keinginannya ke rumah sakit. Kesulitan komunikasi ini adalah masalah umum yang dihadapi oleh banyak pekerja migran, terutama yang tidak fasih berbahasa Mandarin.
Melahirkan tanpa bantuan tenaga medis menunjukkan betapa beratnya tekanan yang dihadapi oleh pekerja migran ini, yang merasa sangat terisolasi.
“Syukurlah ia dan bayinya selamat. Kami berharap sistem hukum dan medis di Taiwan bisa lebih ramah terhadap pekerja migran, terutama bagi mereka yang sedang hamil agar tidak perlu melahirkan dalam kondisi berisiko tinggi seperti ini. Kami juga berharap semua majikan dapat lebih memahami peraturan yang ada dan tidak memutus kontrak kerja hanya karena pekerja migran sedang hamil, melainkan memberikan perlindungan yang layak bagi mereka,” ucap SBIPT.