Foto dokumentasi CNA.
“Ada hak melahirkan bagi PMA di Taiwan, tetapi tidak banyak yang mendapatkan informasi dengan benar,” kata Sally Sung, staf Service of the People Association (SPA) yang juga mengatur pameran ini, kepada CNA.
Deretan perlengkapan bayi dan ibu hamil seperti minyak telon, balsam hangat, dan jamu berjejer di salah satu ruang pamer Songshan Cultural and Creative Park, Taipei, Kamis (19/12), menjadi bagian dari pameran “Women, No Cry” yang hendak menyampaikan perjuangan pekerja migran asing (PMA) membesarkan anak mereka.
Sally menyebut dari ketidaktahuan itu, tidak jarang para PMA akhirnya menempuh jalur ilegal agar bisa tetap mengurus anak di tengah beratnya beban kerja sebagai pekerja migran. Misalnya, di antara mereka akhirnya tidak berani kembali ke majikan dan berakhir jadi kaburan yang tidak hanya mengorbankan anak mereka tetapi juga diri mereka sendiri.
“Pameran ini hendak menceritakan kepada audiens Taiwan bagaimana para PMA mengalami situasi tersebut,” kata Sally.
Seperti yang dilansir dari CNA, pameran yang dimulai sejak Kamis hingga 23 Februari mendatang ini menampilkan berbagai media mulai dari foto, video, dan sejumlah pernak pernik yang berkaitan dengan topik PMA hamil dan anak mereka.
Di salah satu dinding ada sepuluh tanya-jawab dalam bahasa Inggris dan Mandarin yang diharapkan bisa menjawab rasa penasaran orang Taiwan pada hak melahirkan dan membesarkan anak bagi PMA.
Pada data yang dipaparkan di pameran itu, sejak 2002, Taiwan telah mencabut larangan tidak boleh hamil bagi PMA. Pada 2015, kewajiban tes kehamilan bagi PMA juga sudah ditiadakan mengingat hamil adalah hak fisiologis bagi perempuan dan melarang kehamilan adalah pelanggaran pada hak asasi manusia.
Namun, dalam praktiknya, kata Sally, tak dimungkiri masih banyak pihak yang tidak paham. Beberapa kasus yang ditangani SPA, pekerja migran biasanya tidak diperbolehkan lagi bekerja ketika hamil oleh majikannya sehingga mereka harus mencari majikan baru.
Kasus pada pekerja sektor informal biasanya lebih kompleks dibanding pekerja formal karena sektor informal tidak masuk dalam UU Standar Ketenagakerjaan Taiwan.
“Kalau sektor formal mereka ada hak cuti hamil, kalau informal tidak,” kata Sally.
Beberapa teks tanya-jawab lain yang jadi materi pameran adalah “Bagaimana status kewarganegaraan bayi PMA yang lahir di Taiwan?” dan “Berapa lama mereka bisa tinggal?”
Pada bagian ini, jawabannya adalah bayi yang lahir dari PMA resmi akan berkewarganegaraan mengikuti ibunya, dan mendapat izin tinggal yang bergantung pada status ibunya. Sementara masa waktu mereka tinggal juga sama seperti ibunya.
Pameran ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagan tanya jawab tadi merupakan bagian pertama pameran yang mengulas “Apa yang terjadi ketika PMA hamil?” Lalu perlengkapan bayi dan ibu hamil tadi merupakan bagian kedua pameran yang mengulas tentang “Apa yang kamu lakukan”. Pada bagian kedua ini, pengunjung diajak melihat isu ini lewat sudut pandang PMA.
Bagian ketiga, bertajuk “Ketika pesawat pergi”, menampilkan video dokumenter 30 menit yang fokus pada cerita hidup ibu PMA di penampungan SPA yang menuturkan pengalamannya hamil, membesarkan anak di rumah majikan sembari bekerja, dan harus merelakan anaknya ketika ia memilih memulangkannya ke Indonesia.
Pameran ini memang sangat menyentuh sisi manusiawi para pengunjung. Dari bagian satu ke bagian yang lain, pengunjung diajak memahami aturan, keadaan di lapangan, dan mendengar langsung penuturan para migran tersebut.
Bagaimana pun, PMA di Taiwan yang jumlahnya 800 ribu orang per tahun 2024 ini, 390 ribu di antaranya adalah perempuan yang sangat mungkin mengalami situasi serupa. Mereka juga sudah menjadi bagian dari masyarakat Taiwan yang tentu harus sama-sama diperhatikan haknya.