Foto diambil dari KDEI.
Kepala Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei, Arif Sulistiyo menemui Menteri Ketenagakerjaan Taiwan Hung Sun-han (洪申翰) pada Senin (24/3) untuk mendiskusikan upaya peningkatan pelindungan pekerja migran Indonesia (PMI) dan menyampaikan aspirasi mereka, menurut rilis pers KDEI. Seperti yang dilansir dari CNA, pada tahap awal diskusi yang berlangsung di kantor Kementerian Ketenagakerjaan (MOL) di Taipei itu, Hung sempat menyampaikan apresiasi kepada PMI yang merupakan pekerja asing terbanyak di Taiwan, di mana 80 persen perawat migran berasal dari Indonesia.
Menurut rilis pers KDEI, Arif memaparkan kepada Hung bahwa Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) telah menjadi kementerian (KP2MI). Sementara itu, pembaruan nota kesepahaman (MoU) antara KDEI dan Kantor Dagang dan Ekonomi Taipei (TETO) di Indonesia tentang perekrutan, penempatan, dan pelindungan PMI di Taiwan ditargetkan selesai tahun ini, ujarnya kepada Hung.
Selain itu, Arif meminta MOL menyediakan kebutuhan fasilitas dasar di pelabuhan untuk ABK. Ia juga menekankan perlunya jalan keluar bagi permasalahan kapal tangkap musiman, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan peran agensi yang menurutnya kurang maksimal dalam membantu mencarikan pekerjaan. “Banyak terjadi PHK di berbagai bidang pekerjaan dan tidak sedikit agensi yang tidak membantu mencarikan PMI pekerjaan dan cenderung merekrut PMI baru dari Indonesia. Belum lagi PMI diminta biaya tambahan saat pindah majikan,” ungkap Arif.
Menanggapi hal tersebut, Hung menyatakan bahwa MOL menyadari ketergantungan PMI terhadap agensi dalam mendapatkan pekerjaan, tulis pernyataan KDEI Dalam pernyataan KDEI tertulis bahwa MOL, melalui Direktorat Jenderal Pengembangan Tenaga Kerja (WDA), telah membuka beberapa cabang regional dan memiliki unit khusus yang bertugas membantu pekerja migran mendapatkan pekerjaan dan melakukan perpindahan majukan secara mandiri.
MOL juga berencana menambah unit pelayanan ini di beberapa kota lainnya, tulis pernyataan tersebut.
Berkaitan dengan PMI yang hamil, Arif mengusulkan adanya pembukaan rumah singgah (shelter) bagi anak mereka yang dilahirkan di Taiwan, sehingga ada tempat khusus dengan harga terjangkau yang disediakan untuk menjaga anak-anak tersebut saat sang ibu bekerja.
Usulan kenaikan gaji PMI sektor informal juga diutarakan Arif pada kunjungan tersebut. Hung mengatakan ia menyadari hal tersebut sudah sepantasnya dilakukan, tetapi saat ini masih dibahas karena menurutnya tidak semua keluarga Taiwan yang membutuhkan perawat migran berkemampuan memberikan gaji yang sama seperti sektor formal.
Melalui wawancaranya bersama CNA, Arif mengatakan bahwa menurut hukum Taiwan, upah bulanan untuk perawat dan pembantu rumah tangga tidak boleh lebih rendah dari NT$20.000 (Rp10,030 juta) sementara untuk ABK migran jarak jauh tidak boleh lebih rendah dari US$550 (Rp9,131 juta).
Gaji yang sedikit dan jauh lebih rendah dari upah minimum Taiwan sebesar NT$28.590, telah menjadi sumber kritik dari advokat hak-hak pekerja dan kelompok pekerja migran.
Mengingat risiko yang terlibat dalam pekerjaan ini, Arif mengatakan dia berharap upah dasar pekerja migran Indonesia bisa dinaikkan setidaknya ke tingkat yang sama dengan upah minimum Taiwan.
Dalam diskusinya, Arif juga memaparkan perlunya optimalisasi bursa kerja untuk mencegah praktik “jual beli job”. Selain itu, ia juga membuka pembicaraan mengenai potensi pengisian peluang kerja di bidang perhotelan dan sopir bagi PMI.
Perpanjangan izin kerja bagi PMI juga dikemukakan, agar dapat diberikan waktu lebih panjang lagi hingga 12-14 tahun, ujar pernyataan tersebut. Dalam rangka memperingati bulan ramadan, Arif juga meminta MOL agar dapat memberikan imbauan kepada majikan untuk memberikan izin libur bagi PMI pada hari Raya Idul Fitri tanggal 31 Maret, tulis pernyataan tersebut.