Foto diambil dari CNA.
Direktur Pelindungan Warga Negara Indonesia Kemlu RI, Judha Nugraha, dalam wawancara eksklusif dengan CNA pada 3 Februari mengungkapkan bahwa sesuai UU nomor 37 tahun 1997, pelindungan terhadap WNI sudah menjadi tugas negara.
Judha menekankan pentingnya komitmen bahwa negara hadir untuk melindungi WNI yang ada di luar negeri, tidak peduli mengenai status mereka, apakah legal atau ilegal.
“Selama mereka WNI, berhak mendapat pelindungan negara. Bahkan dalam UU nomor 18, definisi pekerja migran Indonesia itu kan semua WNI yang bekerja di luar negeri yang mendapat upah itu adalah PMI, sekali lagi tidak peduli statusnya prosedural maupun nonprosedural, ilegal maupun legal,” ujar Judha.
Sesuai dengan Permenlu 5 tahun 2018, Judha menjelaskan prinsip yang dikedepankan adalah bahwa pelindungan diberikan untuk mengedepankan tanggung jawab pihak terkait, tanpa mengambil alih tanggung jawab pidana atau perdata, serta sesuai dengan hukum yang berlaku di negara setempat dan hukum kebiasaan internasional.
“Itulah prinsip yang dilakukan oleh perwakilan Kemlu di negara-negara penempatan, salah satunya di KDEI Taipei,” ujar Judha yang pernah mengunjungi WNI di Taiwan.
Ia pun menjelaskan mengenai setiap konteks dari arti pelindungan tersebut. Pertama, pelindungan diberikan untuk mengedepankan tanggung jawab pihak terkait, berarti mengedepankan siapa yang bertanggung jawab terlebih dahulu.
Misalnya, untuk WNI yang bekerja, majikan yang akan diminta untuk bertanggung jawab, ujarnya, sementara untuk PMI, agensi tenaga kerja atau Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) akan diminta bertanggung jawab terlebih dahulu.
“Intinya, negara tidak mengambil alih pertanggungjawaban tersebut. Jika semuanya dibebankan pada negara, maka yang terjadi adalah moral hazard (pengabaian hukum di negara penempatan dikarenakan merasa ada jaminan pelindungan dari negara asal),” ujar Judha yang pernah bertugas di Malaysia.
Untuk prinsip kedua, di mana pelindungan diberikan tanpa mengambil alih tanggung jawab pidana atau perdata, Judha menjelaskan bahwa bagi WNI yang melanggar hukum atau melanggar keimigrasian setempat, negara tidak mengambil alih kesalahan individu tersebut, dan hanya memberikan pendampingan untuk memastikan ia mendapat hak-haknya secara adil di sistem pengadilan setempat.
“Jadi, tugas negara bukan membebaskan individu dari jeratan hukum, melainkan mendampingi agar yang bersangkutan mendapatkan hak-haknya di peradilan,” ujar Judha.
Judha juga menegaskan bahwa pengadilan setempat memiliki kewenangan untuk membuat putusan terkait individu yang bersangkutan, seraya mengatakan bahwa selain berkewajiban untuk melindungi, pihaknya juga bertanggung jawab untuk memberikan edukasi.
“Sekali lagi, yang perlu digaris bawahi bahwa negara tidak bisa mengambil alih kesalahan hukum yang ia lakukan. Kita hanya memberikan pendampingan agar individu tersebut mendapat hak-haknya,” imbuh Judha.
Prinsip ketiga, di mana pelindungan diberikan sesuai dengan hukum yang berlaku di negara setempat dan hukum kebiasaan internasional, kata Judha, berarti bahwa perwakilan Kemlu RI di negara penempatan bertindak sesuai Konvensi WINA 1961 mengenai Hubungan Diplomatik dan Konvensi WINA 1963 mengenai Hubungan Konsuler.
Hal ini tetap berlaku meskipun Indonesia tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Taiwan, ujarnya. Judha menekankan bahwa Indonesia tidak bisa campur tangan sistem hukum di negara setempat.
“Itulah tiga prinsip secara umum bagaimana pelindungan kepada seluruh WNI tanpa memandang status keimigrasian,” ungkap Judha saat diwawancarai CNA di kantor Kemlu RI di Jalan Pejambon, Jakarta Pusat.