Foto diambil dari CNA.
Fajar yang jadi pembicara dalam acara diskusi Hari Perempuan Internasional yang digelar oleh Taiwanese Feminist Scholar Association di Distrik Wanhua, Taipei, Minggu (9/3) menyebut Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang bekerja 24 penuh di rumah majikan sering menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh keluarga majikan atau bahkan pasien sendiri.
Seperti yang dilansir dari CNA, Ketua Serikat Buruh Industri Perawatan Taiwan (SBIPT), Fajar menilai Pekerja Migran Asing (PMI) sektor domestik yang mayoritas perempuan rentan mengalami pelecehan seksual di tempat kerja, belum adanya perlindungan Undang Undang pada Pekerja Migran sektor ini dianggap membuat masalah tak kunjung dapat solusi.
Dari laporan yang pihaknya sering terima, pelecehan tersebut diterima dalam berbagai macam bentuk mulai dari verbal hingga tindakan yang menyebabkan trauma pada pekerja.
“Ini biasanya menjadi alasan kenapa mereka memilih kabur,” kata Fajar.
Oleh karena itu ia mendesak agar otoritas Taiwan membolehkan PMI untuk bebas pindah majikan dan untuk PRT agar dimasukkan ke UU Ketenagakerjaan,” kata Fajar.
Bagi PMI, Fajar berpesan agar lebih memahami lagi soal tindak pelecehan seksual. Soalnya, kata dia, banyak sekali pekerja yang sudah menjadi korban pelecehan seksual, tetapi belum menyadari bahwa hal yang ia terima termasuk bentuk pelecehan.
Fajar mencontohkan, beberapa bentuk pelecehan seksual di antaranya ajakan tidak senonoh, sentuhan yang tidak diinginkan, atau dikirimi pesan pornografi yang membuat tidak nyaman.
Sayangnya, seringkali keluarga majikan lain yang tinggal serumah juga tahu adanya tindak pelecehan tersebut, namun dari pengalaman Fajar, banyak di antaranya yang malah menekan korban dengan normalisasi, meminta bukti, hingga membalikkan situasi.
“Misalnya dianggap “cuma gitu aja”, padahal itu sudah pelecehan. Sementara kalau terjadi secara spontan tentu kesulitan kawan-kawan mencari bukti sendiri. Respons lain adalah PMI-nya yang dianggap genit,” ujar Fajar.
Hal ini, kata Fajar, bisa terjadi karena adanya salah kaprah di masyarakat Taiwan soal orang Indonesia yang boleh memiliki lebih dari satu pasangan. Ini bukan hanya jadi dampak pada rentannya pelecehan seksual di tempat kerja tetapi juga membuat izin libur semakin sulit.
“Karena dianggapnya kami akan mencari selingkuhan (ketika meminta libur). Ini membuat hak dan kemerdekaan kami untuk libur pun tercederai,” kata Fajar. Fajar pun berpesan pada para pendengung (influencer) sosial media dari Indonesia yang fokus pada penonton Indonesia di Taiwan untuk tidak menormalisasi perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab sebagai sesuatu yang lumrah di Taiwan.
“Berikan informasi yang di-frame dengan bagus, jangan sampai menganggap bahwa hubungan seksual tidak bertanggung jawab sebagai hal yang biasa, karena hal itu akan berdampak ke keluarganya. Dan itu akan berdampak pada kemerdekaan kita sebagai pekerja migran,” ucap Fajar.