Foto diambil dari Taipei Times.
Allison Lee (李麗華), pada tahun 1999 saat itu berusia 35 tahun dan bekerja di Departemen Tenaga Kerja di Kota Taipei, pertama kali berhubungan dengan pekerja migran.
Setelah bertugas singkat di departemen tersebut, Lee menemukan bahwa birokrasi menghalangi usahanya untuk membantu mereka dan memutuskan bekerja untuk sebuah organisasi kemasyarakatan.
Sekarang di usianya 53 tahun, Lee terus bekerja untuk menegakkan hak-hak pekerja migran, meski telah mengalami ancaman verbal dari pemilik kapal dan perantara mereka.
“Satu-satunya harapan saya adalah bahwa suatu saat buruh migran tidak lagi dieksploitasi,” katanya.
Ketika ditanya mengapa dia mendedikasikan hidupnya untuk membantu pekerja migran, Lee mengatakan bahwa hal itu mungkin berasal dari pengalamannya bekerja di sebuah pabrik di Kabupaten Taoyuan setelah dia lulus dari sekolah menengah kejuruan.
Pada usia 27, dia bergabung dengan Pusat Pelayanan Keamanan dan Sanitasi Chingjen dari Yayasan Katolik Hati Maria Tak Bernoda dan banyak berbicara menentang penyakit yang ditanggung pekerja tambang.
Lee akhirnya membuat organisasi untuk dirinya sendiri di komunitas pekerja migran.
Dia pernah dihubungi seorang pekerja migran yang kehilangan lengannya saat bekerja di sebuah kapal yang terdaftar di Pelabuhan Perikanan Nanfangao (南方澳 漁港) di Suao Yilan County (蘇澳). Setelah meneliti Undang-Undang Serikat Buruh (工會 法), bahwa pekerja migran diijinkan untuk membentuk serikat pekerja.
Lee berperan penting dalam upaya meluncurkan Serikat Buruh Migran Yilan pada tahun 2013.
Saat itu banyak agensi yang menentangnya. Mereka sering muncul dengan alasan sudah membayar gaji pekerja. Para migran, yang berpenghasilan antara NT $ 10.000 dan NT $ 20.000 per bulan, akan mengalami kesulitan untuk mandiri ketika bayaran mereka terbagi dua karena dipegang oleh pihak agensi, kata Lee.
Lee memberikan seluruh tabungannya ke dalam serikat pekerja dan bahkan menjual mobilnya.
“Suatu ketika saya ingin menghadiri sebuah demonstrasi di Taipei dan mendapati diri saya tidak memiliki uang sepeserpun, tapi saya tidak ragu sejenak untuk menghabiskan uang di akun suami saya,” kata Lee, menambahkan bahwa suaminya hanya memiliki NT $ 5.000 pada saat itu.
Perlahan-lahan para pekerja mulai percaya pada serikat pekerja yang didirikannya karena lebih banyak pemilik kapal dihukum karena menyerang pekerja migran atau menyepelekan gaji mereka, kata Lee.
“Saya tergerak untuk menangis ketika para pekerja tersebut mengatakan kepada saya bahwa hati dan pikiran mereka tidak akan pernah meninggalkan organisasi didirikan,” katanya.
Ada satu kasus yang dia sesali pada bulan September 2015, ketika seorang pria Indonesia berusia 40-an, yang dikenal dengan nama Supriyanto, meninggal karena kekerasan oleh pemilik kapal nelayan.
Saat mengunjungi keluarga Supriyanto di Indonesia, Lee mengatakan bahwa dia merasa sedih ketika putra sulung Supriyanto mengatakan bahwa dia tidak akan pernah menjadi nelayan karena takut dia akan dipukuli sampai mati seperti ayahnya.