Foto Sumiyati semasa hidup (memakai syal merah), sumber kompas.com.
Beberapa lembar foto cetak berwarna hasil jepretan kamera jadul mengabadikan sosok Sumiyati, anak kedua dari Maryono Wirodirjo (62) dan Sunarsih (57).
Foto yang dipajang di dalam album itu menyimpan sejuta memori yang tak terlupakan bagi keluarga kecil Sumiyati di Dusun Galeh, Desa Kramat, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Keluarga tidak bisa menahan tangis jika melihat foto tersebut.
Di rumah sederhana berdinding papan dan beralaskan tanah inilah Sumiyati menghabiskan masa kecilnya sebagai seorang anak petani. Hidup di lingkungan keluarga dengan kondisi perekonomian yang pas-pasan perlahan membangun kepribadian Sumiyati menjadi gadis yang bersahaja. Sumiyati lulusan madrasah tumbuh berkembang sebagai gadis yang religius. Putri kedua dari tiga bersaudara itu dikenal tekun sholat dan mengaji. Karena keterbatasan ekonomi Sumiyati tidak melanjutkan sekolah.
Tahun 2000, Sumiyati yang lahir pada 1 Maret 1984 tersebut menikah dengan Sukardi. Pernikahannya dengan pekerja bangunan tersebut dianugerahi seorang putra yang diberi nama Muhammad Rozi.
Pada Mei 2004 melalui penyaluran Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) PT AMRI Margatama, Jakarta, Sumiyati terbang ke Arab Saudi bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Saat itu Rozi putra nya berumur dua tahun.
“Mbak nitip Bapak, Emak, dan Rozi ya, Dik. Mbak tidak akan pulang sebelum sukses,” ujar Yuliatun (29), adik Sumiyati, menirukan pesan kakaknya itu sebelum hengkang ke Arab Saudi
Satu tahun, Sumiyati masih aktif berkomunikasi dengan keluarga melalui sambungan telepon. Gaji selama setahun yang disisihkan Sumiyati sebesar Rp 13 juta dikirimkan kepada keluarganya untuk membantu menyokong hidup.
Kekhawatiran mulai menyelimuti keluarga. Selama bertahun-tahun Sumiyati tidak pernah ada kabarnya. Pihak keluarga pun kesulitan mengakses Sumiyati. Sampai akhirnya ada kabar dari perusahaan penyalur di Jakarta menginformasikan bahwa Sumiyati meninggal dunia karena dibunuh majikannya. Kabar pada tahun 2010 itu diterima keluarga setelah tiga bulan Sumiyati meninggal.
Hingga sekarang kasus pembunuhan Sumiyati masih dalam persidangan oleh pihak pengadilan setempat. Pihak keluarga berharap hakim menjatuhkan hukuman yang setimpal kepada pelaku. Hak-hak yang sudah sepatutnya diterima pihak keluarga Sumiyati supaya segera diserahkan.
“Utang nyawa dibayar nyawa. Kami minta hukum di Arab Saudi bisa berlaku seadil-adilnya, dan kami mohon kepada Bapak Presiden Jokowi mengawal kasus ini. Karena sudah bertahun-tahun, kasus ini tidak ada kabarnya,” ucap Sunarsih, ibunda Sumiyati.
Ketua Lembaga Pemerhati dan Advokasi TKI, Jawa Tengah, Harso Mulyono selaku tim pendamping hukum kasus Sumiyati menyampaikan data yang diterima pihaknya dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Jeddah, Arab Saudi, menyebutkan bahwa Sumiyati tewas pada 11 Februari 2010 di Kota Najran, Jeddah.
Tanpa sebab yang jelas, Sumiyati dianiaya secara sadis oleh majikan perempuannya, Sofiah binti Ahmad Ibrahin Assiri. Sumiyati kemudian dibakar hidup-hidup dan jasadnya yang hangus dibiarkan begitu saja di lantai atas rumah.
Terbongkarnya kasus itu, setelah keluarga pihak majikan lelaki melaporkan kejanggalan itu kepada otoritas Arab Saudi. Dari kasus ini, pengadilan menyidangkan dua terdakwa, yaitu majikan perempuan Sumiyati pelaku pembunuhan Sumiyati; serta majikan lelaki Sumiyati, Amir Muhammad bin Amir Al Assiri, pejabat publik di Jeddah, yang dianggap terlibat karena membiarkan kasus ini terjadi.
Jasad Sumiyati ditusuk, dipukul, dan dibakar oleh majikan perempuan hingga hangus. Pertimbangan dari keluarga jenazah dikebumikan di Arab Saudi. Kini keluarga mendorong semua pihak untuk ikut mengawal kasus Sumiyati yang belum juga final.
Harapan keluarga Sumiyati adalah hukum syariat Islam di Arab Saudi bisa ditegakkan. Pihak keluarga menghendaki hukum Qisas, istilahnya dalam hukum Islam berarti pembalasan (memberi hukuman yang setimpal), mirip dengan istilah “utang nyawa dibayar nyawa”. (Ol)