Foto diambil dari Kompas.
Dalam rangka Memperingati Hari Perempuan Internasional 8 Maret, ratusan buruh perempuan melakukan aksi di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Rabu (8/3/2017). Mereka kaum buruh perempuan memperingati Hari Perempuan Internasional dengan menyuarakan hak buruh yang belum terpenuhi.
Ketua Komite Perempuan Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan (SPKEP) SPSI Ira Laila saat aksi seperti dikutip dari Kompas.com mengatakan, buruh perempuan membutuhkan perlindungan maternitas di tempat mereka bekerja. Kebutuhan itu antara lain, ruang laktasi yang harus disediakan oleh perusahaan.
Kewajiban perusahaan untuk menyediakan ruang laktasi tertuang dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dimana Pasal 83 menyebutkan, pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
Menurut Ira, masih banyak perusahaan yang belum menyediakan ruang laktasi. Akibatnya, ada buruh perempuan yang memerah ASI di gudang dan toilet meski tidak higienis. Bukankah menyusui itu tangung jawab perempuan untuk persiapkan anak bangsa.
Selain itu, buruh perempuan juga menuntut pemerintah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 83 Tahun 2000 tentang Perlindungan Maternitas. Salah satu pasal pada konvensi tersebut menyebutkan, buruh perempuan berhak mendapatkan cuti melahirkan selama 14 pekan. Dalam UU 13/2003, Pasal 82 menyatakan pekerja berhak mendapatkan istirahat selama tiga bulan yakni 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan.
Pada kenyataannya jangankan cuti melahirkan, cuti mens (datang bulan) di tempat kerja juga masih banyak yang belum laksanakan. Pihak perusahaan bilang ada tapi dipersulit. Kalau cuti, kompensasi jadi hilang. Padahal kalau tetap masuk pekerja juga tidak akan produktif maksimal. (ol)