Foto: Buruh migran Indonesia berkumpul di Victoria Park, Causeway Bay, Hong Kong. ANTARA FOTO/ Rosa Panggabean sumber antaranews.com
Pemerintah Indonesia akan segera mengambil langkah dan rencana kedaruratan untuk melindungi pekerja migran.
Aksi unjuk rasa yang dilakukan demonstran anti ekstradisi di Hong Kong semakin meluas. Dilansir dari Reuters (12/8), demonstran telah melumpuhkan aktivitas bandara internasional setempat. Otoritas bandara setempat dikabarkan telah menghentikan segala aktivitas penerbangan.
Aksi unjuk rasa puluhan ribu orang turun ke jalan untuk menolak RUU Ekstradisi yang dianggap mengancam kebebasan berekspresi masyarakat Hong Kong. Aksi ini telah dilakukan sejak tanggal 2 Agustus2019.
Terkait situasi tersebut, Direktur Migrant Care Wahyu Susilo meminta pemerintah Indonesia segera mengambil langkah dan rencana kedaruratan untuk melindungi pekerja migran Indonesia di Hong Kong. Terlebih, ada 250 ribu pekerja migran asal Indonesia yang mengadu nasib di Hong Kong.
Menurutnya, pemerintah perlu menghentikan keberangkatan calon pekerja migran Indonesia ke Hong Kong dalam jangka waktu tertentu. Selain itu, pemerintah perlu berkonsolidasi untuk menjamin keselamatan pekerja migran dengan negara-negara yang memiliki pekerja migran dengan tujuan ke Hong Kong. Misalnya seperti Filipina, Nepal, India dan lain-lain.
Wahyu mengatakan, bila situasi keamanan di Hong Kong semakin memburuk, maka perlu ada evakuasi bagi pekerja migran Indonesia di sana. Utamanya mereka yang bekerja di kawasan-kawasan dengan potensi konflik yang tinggi.
“Untuk hal ini, KJRI HK harus terus mengupdate informasi dan juga terus melibatkan partisipasi dan inisiatif organisasi pekerja migran Indonesia di HK untuk tindakan-tindakan yang diperlukan,” katanya.
Utusan Khusus Presiden RI Bidang Penetapan Batas Maritim (UKP PBM) RI-Malaysia, Eddy Pratomo, menyebutnya Hong Kong disebut-sebut sebagai sorganya bagi TKI. Seperti dikutip Setkab.go.id, gaji yang diterima TKI di Hong Kong mencapai 4.410 dolar Hong Kong (Rp7.717.500). Biaya hidup yang lebih rendah dibanding negara-negara penerima TKI lainnya, termasuk Malaysia.
TKI di Hongkong lebih memiliki keleluasaan dalam mengatur keuangan, termasuk mengikuti gaya hidup modern di wilayah tersebut. Dari sisi kebebasan, tidak ada batasan kultural atau alasan-alasan lain yang menghambat TKI mengekspresikan kebebasannya, baik kebebasan dalam berkumpul maupun kebebasan dalam mengomentari berbagai hal.
Selain itu, banyak akses yang memungkinkan TKI berkomunikasi dengan keluarganya di Indonesia melalui telepon seluler. Hong Kong memberikan kemudahan bagi TKI untuk memiliki alat komunikasi, kemudahan berhubungan dengan kantor perwakilan pemerintah RI, maupun juga karena banyaknya akses penerbangan yang memungkinkan TKI untuk setiap saat bisa terbang kembali ke tanah air.
Hal ini membuat para TKI di Hong Kong umumnya bekerja tidak sendiri, melainkan mengajak adik, kakak, saudara, anak dan bahkan tetangganya bekerja di sana. Ini menjadikan TKI di Hongkong lebih kerasan dibandingkan dengan negara lain, karena komunitas yang mereka bangun, menjadikan mereka tidak tercerabut dari akar keluarga atau kampung halaman masing-masing. (Ol)