Foto diambil dari ekon.go.id
Beragamnya permasalahan yang dialami BMI, baik yang bernasib baik maupun yang kurang beruntung adalah fenomena sebab akibat. Penyebabnya beragam, bisa dari BMI sendiri, perusahaan penempatan tenaga kerja swasta Indonesia (PPTKIS), instansi pemerintah, majikan, atau pihak-pihak lainnya. Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Nusron Wahid sebagaimana diberitakan dalam laman resminya menyatakan lebih baik melakukan pembenahan daripada saling menyalahkan.
Keinginan bekerja di luar negeri tidak bisa dihentikan sebab terkait dengan ketersediaan lapangan kerja dan kebutuhan hidup. Solusinya mencari jalan apa yang harus dibenahi secara menyeluruh dan terus menerus, demikian dikutip Nusron yang juga mengakui harus memulai menata dari hulu ke hilir agar tidak timbul persoalan di kemudian hari.
Meski terkenal dengan negara tertib, BMI di Singapura juga ternyata mempunyai banyak masalah. Banyak majikan mengeluh BMI-nya tidak memahami kondisi Singapura sebenarnya, sebagai negara yang kompetitif. Padahal bisa diibaratkan di Singapura tidak ada waktu untuk bermain ‘games’ saat bekerja. Demikian kata Presiden Asosiasi Agen Tenaga Kerja Singapura, K. Jayaprema.
Banyaknya benih-benih permasalahan, BNP2TKI melakukan pembenahan secara serempak. Prinsipnya adalah satu di antara yang sederajat karena di setiap aspek ada masalah yang saling terkait. Maka selain peningkatan kecakapan atau kompetensi para BMI, hal lainnya diberlakukan perbaikan peraturan, peningkatan kualitas karyawan, kerja sama antar instansi secara terintegrasi, serta pembuatan perjanjian antar pemerintah atau dengan asosiasi di negara penerima TKI.
Kesepakatan Indonesia dan Singapura, dalam hal ini BNP2TKI dengan Asosiasi Agen Tenaga Kerja Singapura, bisa disebut sebagai bentuk kerja sama yang mutakhir. Singapura, melalui asosiasinya menata tenaga kerja asing yang mana 60% berasal dari Indonesia dengan pekerjaan sebagai perawat anak-anak/ orang tua dan penata laksana rumah tangga.
Dalam kerja sama yang dibuat, anggota agensi diwajibkan melakukan perjanjian langsung dengan BMI. Dalam konteks ini, BMI tidak berhubungan dengan majikan melainkan dengn agensi. Dalam perjanjian itu mencantumkan jam kerja, jam istirahat, hak memperoleh akses peningkatan kecakapan serta memfasilitasi secara cuma-cuma bila terjadi perpindahan majikan. Bisa dibilang BMI bekerja seperti pegawai kantoran sebab tidak tinggal di rumah pengguna.
“Yang menarik dari perjanjian itu, BNP2TKI memberlakukan skema pembayaran non tunai, hingga baik agensi maupun pengguna tak boleh melakukan potongan langsung kepada pekerja. Dengan demikian pekerja memperoleh gaji utuh belum termasuk lembur. Tak ada lagi biaya berlebih yang dibebankan kepada TKI,” tegas Nusron. “Jika terjadi penyimpangan dari kerja sama itu kita bisa langsung mengadu kepada Asosiasi Singapura,” lanjutnya.
Kerja sama BNP2TKI dengan Asosiasi Agensi Tenaga Kerja Singapura itu menghasilkan BMI profesional dengan jaminan hukum. Pola semacam ini terwujud jika kedua pihak mempunyai komitmen yang kuat untuk menciptakan keteraturan. (ol)