Kabar duka kembali menghinggapi dunia buruh migran Indonesia. Seorang mantan buruh migran Taiwan, Merri Utami (42) termasuk narapidana yang akan menjalani hukuman mati jilid 3 Juli 2016 ini.
Merri Utami perempuan asal Sukoharjo, Jawa Tengah, kelahiran 1974. Ia seorang janda dengan dua anak yang mana sebelumnya pernah mengalami kekerasan rumah tangga.
Merry pernah bekerja di Taiwan selama 2 tahun. Ia bertemu Jerry di Jakarta ketika memproses dokumen untuk berangkat lagi ke Taiwan. Merry tidak mengira jika Jerry yang baik dan mengajaknya ke Nepal justru menipunya menjadi kurir pembawa narkoba jenis Heroin seberat 1,1 Kg melalui tas tangan yang pada akhir Oktober 2001 dititipkan teman Jerry kepada Merry.
Sejak itu Jerry tidak bisa dihubungi dan baru tahu jika Jerry mempunyai banyak nama samaran. Saat ditangkap aparat, Merry mengalami kekerasan oleh petugas kepolisian mulai dipukul berkali-kali, dilecehkan secara seksual dan hampir diperkosa.
Kini pihak keluarga Merry sudah tidak mau mengakuinya dan dianggap sudah mati. Hanya anak perempuannya yang bersedia mengunjunginya. Tragisnya pengacara yang mendampinginya hanya datang saat sidang dan hanya menyuruhnya mengaku bersalah. Tahun 2002 ia dijatuhi hukuman mati di pengadilan tingkat pertama. Merry pernah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung tetapi ditolak. Tahun 2014 ia mengajukan Peninjauan Kembali tetapi lagi-lagi ditolak. Tahun 2016 ini, ia diberitahu akan masuk dalam hukuman mati gelombang ketiga.
Terkait hal itu, Aliansi Tolak Hukuman Mati menggelar aksi di depan Istana Negara pada Selasa, 26 Juli 2016. Aksi dengan tema “Selamatkan Merri Utami korban perdagangan manusia dari hukuman mati” meminta pemerintah Indonesia memberikan grasi kepada Merry.
Saat ini ia telah dipindahkan ke Nusa Kambangan untuk dipersiapkan menghadapi eksekusi yang masih menunggu keputusan dari Kejaksaan Agung, setelah sebelumnya telah menjalani hukuman penjara selama 15 Tahun.
Merujuk pada catatan pemantauan dan pendampingan Komnas Perempuan dan kronologis kasus terhadap MU Aliansi Tolak Hukuman Mati menilai bahwa vonis hukuman mati yang diberlakukan selama ini masih rentan diberlakukan kepada korban perdagangan orang, dan tidak menyasar pada pelaku atau otak pelaku kejahatan narkoba yang utama.
Aliansi Tolak Hukuman Mati yang terdiri dari gabungan Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) menilai bahwa negara belum berhasil menyelesaikan akar masalah dari mengguritanya problem narkoba selama ini, dan vonis hukum pun akhirnya lebih banyak diarahkan kepada mereka yang sebenarnya berada dalam kerentanan, seperti perempuan, anak-anak, atau mereka yang berada dalam tekanan relasi kuasa dan tak paham akan kejahatan narkotika itu sendiri.
Berkaca pada kasus Yusman dan Mary Jane Fiesta Veloso pada Tahun 2015 lalu, hukuman mati juga harus benar-benar dapat menjalankan asas fair trial sehingga tidak mengkriminalisasikan individu yang sebenarnya adalah korban dan bukanlah pelaku. (ol)