Ini adalah perjalanan pertamaku ke luar negeri, tepatnya ke Taiwan. Bukan sebagai pelajar melainkan sebagai buruh kerja di suatu pabrik yang sama sekali belum kutahu seperti apa. Dan tentunya banyak hal yang menjadi kekawatiran dalam benakku sendiri semenjak jauh-jauh hari saat mempersiapkan keberangkatanku. Termasuk mengenai makanan, meskipun aku bukan termasuk orang yang terlalu pilih-pilih dengan makanan yang akan kunikmati tapi kali ini lingkungan tempat tinggalku adalah lingkungan asing.
Untungnya dari cerita teman-teman dan kenalan yang lebih dulu berada di Taiwan, aku jadi tahu bahwa tidak terlalu sulit untuk menemukan Indomie. Bahkan warung atau toko milik orang Taiwan pun tidak jarang ada Indomie. Dari sewaktu di Indonesia juga aku sering sekali membeli Indomie. Selain karena banyak pilihan rasanya, Indomie juga menjadi makanan instan utama bagi warga Indonesia. Alhasil kekhawatiranku akan makanan yang bisa dengan nyaman kumakan saat merantau di Taiwan pun memudar.
Tempat tinggalku cukup jauh dari tempat kerja. Berjarak sekitar 2 km. Dan setiap haripun aku berangkat kerja dengan menaiki sepeda yang sudah disediakan oleh pihak pabrik, begitupun setiap aku pulang. Merantau selalu menjadi momen perjuangan untuk melatih mental dan kemandirianku. Aku tidak akan pernah mengeluh hanya karena aku harus bekerja dengan menaiki sepeda sejauh 2 km. Aku juga tidak akan menyerah jika di setiap perjalananku ke tempat kerja atau sebaliknya seringkali melawan arah angin sehingga kayuhanku pada perdal sepeda semakin berat. Tidak. Tidak akan menyerah sama sekali. Aku merantau di sini untuk memperjuangkan nasib orang tuaku. Aku merantau di sini juga untuk memperjuangkan masa depanku sendiri.
Minggu-minggu pertama, aku disibukkan dengan kerjaan. Kelelahan karena seharian bekerja membuat tubuhku cepat tertidur setelah selesai sholat isya. Di sela-sela kelelahan dan kesibukan kerja itu aku sempatkan untuk bertukar kabar dengan keluarga tercinta di seberang sana. Ah, aku jadi teringat ketika dulu sewaktu masih bekerja di Indonesia dan aku kelelahan sedangkan hujan sedang mengguyur begitu derasnya, ibu akan memasakkan Indomie untukku. Aku tidak meminta ibu memasak Indomie untukku, tapi kasih sayangnya sebagai ibu membuatnya mengerti apa yang kubutuhkan untuk menghangatkan tubuhku di saat kelelahan dan kedinginan waktu itu.
“Ini makan mie-nya, Nak. Hujan-hujan begini kan makan yang hangat,” kata ibu sembari mengangsurkan semangkuk Indomie hangat ke arahku.
Aku tersenyum dan segera menerimanya. Sungguh itu adalah kasih sayang yang paling tulus yang pernah kulihat selama ini. Memang hanya ibu yang selalu mengerti padaku meski tak pernah kukatakan sama sekali apa yang sedang kuinginkan.
Mengingat itu semua membuat dadaku berguncang. Kedua mataku berkaca-kaca. Cepat kuusap sudut-sudut mataku sebelum air mataku meluncur membasahi pipi.
Selain kesibukan kerja dan kelelahan yang mendera, kerinduan akan kampung halaman dan keluarga tercinta di kejauhan sana juga menjadi hal yang teramat berat untuk kutanggung selama di rantauan. Dan Indomie adalah satu-satunya hal yang bisa membuatku selalu teringat dengan kasih sayang ibu. Ya, ibu, perempuan tangguh yang tak perlu alasan apapun untuk bisa mencurahkan seluruh kasih sayangnya padaku, anaknya. Dan anaknnya, aku ingin melakukan suatu hal dengan cara apapun untuk membahagiakannya di sisa-sisa hidupnya.
Maka aku merantau untuk membalas semua itu. Aku tidak ingin mengatakan bahwa membalas semua kasih sayang ibu akan tuntas hanya dengan merantau dan mengirimkan segepok uang pada ibu. Tidak. Aku tahu banyak hal yang bisa aku lakukan untuk membalas kasih sayang ibu padaku. Dan aku hanya memilih salah satunya.
***
Malam ini, sudah hampir satu tahun aku hidup di rantauan. Antara Indomie dan kerinduanku pada ibu selalu terjadi ikatan manis dan hangat sehangat pelukan ibu padaku semenjak pertama kali aku dilahirkan di dunia ini melalui rahimnya.
Kubuka perlahan bungkus Indomie goreng rasa rendang. Ini salah satu farian rasa Indomie yang paling kusuka. Air di atas penggorengan sudah mendidih. Perlahan aku memasukkan mie beserta sedikit kubis yang kuiris sebelumnya. Kusiapkan bumbu-bumbu pada sebuah piring sembari menunggu mie matang.
Selalu. Selalu di saat aku memasak Indomie, ingatanku akan dengan seketika melayang pada rumah. Pada dapur di mana aku yang jadi sering memasakkan Indomie untuk ibu. Tidak. Bukan memasakkan sebenarnya, hanya saja sering sekali aku dan ibu memakan Indomie bersama. Ibu akan memasakan beberapa suap dan selalu memberikanku lebih banyak. Ibu selalu mengatakan kalau masakanku selalu enak. Dan ibu mengatakan itu sembari tersenyum. Senyuman paling indah dari perempuan paling tangguh. Sesekali ayah juga mencoba Indomie yang kumasak. Setelah itu ayah jadi ikut-ikutan masak Indomie sendiri. Dan ibu akan tertawa ketika memergoki ayah memasak sendiri.
Kenangan manis dan hangat itu tak akan pernah kulupa.
Mie sudah matang dan segera kutiriskan beberapa detik. Lalu kutuangkan ke atas piring dengan bumbu yang sudah kuaduk. Kuaduk mie perlahan supaya bumbunya merata. Dan seketika itu bau harumnya akan tercium menusuk hidungku. Bau harum yang selalu mengantarkanku pada setiap kenangan manis dan hangat pada keluarga tercinta di kejauhan sana.
Tiba-tiba ada panggilan masuk melalui messengerku. Ini panggilan melalui aplikasi yang menggunakan sinyal internet bukan pulsa. Kulihat layar hapeku. Panggilan ini dari ibu.
“Hallo, Bu. Assalamu’alaikum,” kataku menjawab panggilan. Terdengar ibu menjawab salamku dari seberang.
Setelah itu, ibu menanyakan kabarku. Kujawab sehat dan baik-baik saja. Kemudian aku balik menanyakan kesahatan ibu dan bapak di rumah. Mereka sehat semua. Aku bersyukur, semoga Tuhan selalu menjaga mereka dengan limpahan kasih sayang.
“Kamu baru selesai masak Indomie, ya?” tanya ibu dari seberang seolah tahu pasti apa yang sedang kulakukan.
“Iya, kok Ibu tahu?”
“Iya, harumnya sampai ke sini,” jawab ibu sembari tertawa kecil. “Ibu jadi kangen makan Indomie buatanmu, Nak.”
“Aku juga kangen, Bu,” kataku sembari menahan air mata yang berontak ingin meluncur.
Memang setiap kali aku bertukar kabar dengan keluarga tercinta sebenarnya tidak perlulah harus ada kabar penting. Hanya sekedar bertegur sapa dan sedikit canda tawa. Di samping itu, Indomie menjadi pengantar kerinduanku pada mereka. Indomie juga yang menjadikanku kuat selama hidup di rantauan ini. Terima kasih Indomie.