Musim dingin di Taiwan kadang seperti momok untukku. Maklum daya tahanku tak sebaik dulu. Selain itu, di musim dingin bawaannya perut selalu lapar. Jujur saja tempat yang aku tinggali susah untuk mendapatkan sesuatu yang kuinginkan, untuk sekadar mendapatkan makanan pengganjal perut.
Aku tinggal bersama nenek. Majikan hanya sesekali datang untuk membawakan kebutuhan kami. Dia tahu kesukaanku, yaitu mi instan. Majikanku sangat baik, selalu menyediakannya untukku. Untuk beberapa waktu baru aku sadari, bahwa mi instan yang dibelikan meski ada tulisannya rasa seafood, beef, or chicken, ternyata pada minyaknya memakai minyak babi. Hal itu aku ketahui ketika membaca pada tulisan di bungkusnya. Sejak saat itu aku berhenti memakan mi instan made in Taiwan, apalagi jika pada tulisan di bungkusnya tidak aku mengerti.
Awalnya aku sempat bingung, untuk mendapatkan mi instan yang halal untuk aku konsumsi di Taiwan. Alhamdulillah, ada seorang teman namanya Dinda yang jaraknya tidak jauh dari tempatku. Dia sering pergi ke toko yang menjual barang-barang Indonesia. Waktu itu dia menawari, mungkin ada sesuatu makanan Indonesia yang aku rindukan. Maklumlah, aku tidak pernah mendapatkan izin libur dari majikan, jadi tidak tahu apa saja yang dijual di toko Indonesia. Waktu itu yang kupikirkan adalah sesuatu makanan bercita rasa Indonesia, awet untuk disimpan, bisa mengusir dingin, dan tidak ribet untuk mengolahnya.
Mbak Dinda temanku itu menyarankan agar aku beli Indomie kuah. Aku langsung setuju saja. Kebetulan itu adalah makanan kesukaanku. Akhirnya aku titip agar dibelikan 10 bungkus Indomie rasa Soto Ayam dan 10 bungkus Indomie rasa Ayam Bawang.
Pukul 15 waktu Taiwan, Mbak Dinda sudah pulang dari toko Indonesia. Dia mengantarkan barang titipanku. Karena musim dingin, suasana agak begitu gelap. Aduh senangnya.
“Jangan pulang dulu, Mbak. Kita makan Indomie bareng-bareng.”
“Oke, deh.”
Aku masak 2 bungkus Indomie rasa Soto. Aku kasih sayur kol dan sawi, irisan daun bawang, dan beberapa potong cabe.
“Terengggg! Dah siap nih.”
Belum sempat menyentuhnya, A Lu, majikan aku yang bekerja di daerah Taoyuan datang bersama istri.
“Waahhh, aroma apa ini?” tanya A Lu. Tanpa berpikir panjang aku tawarin dua mangkuk Indomie rasa Soto yang sudah siap santap. Mungkin saja A Lu beserta istri sedang kelaparan. Mereka langsung menyantapnya.
“Hemmmm, mi apa ini?” tanya istri A Lu.
“Enakkan? Itu Indomie rasa soto ayam,” jawabku.
“Hao chi hao chi.”
Mungkin saking enaknya A Lu tak bisa berkata apa-apa. Sesekali mengacungkan jempolnya.
Aku dan Mbak Dinda ke dapur untuk masak mi yang lain.
“Hiks hiks jelas saja enak, gratis …,” canda Mbak Dinda.
“Hush! Memang enak, kok, Indomie sotonya.”
“Ami, lai!” aku langsung datang menghampiri A Lu. Indomie itu ludes tanpa sisa. “Xie-xie, Ni. Enak banget ini. Maaf, kami harus buru-buru pergi lagi. Ini untuk kamu.”
Mataku langsung berbinar, ketika A Lu memberiku selembar kertas biru untukku.
“Alhamdulillah, rejeki. 1000 NTD.”
Aku dan Mbak Dinda, menikmati Indomie rasa Soto dengan riang gembira bersama.