Foto ilustrasi diambil dari 123rf.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Taiwan kemarin mengeluarkan pernyataan bahwa beberapa majikan tidak kooperatif dalam penyelidikan terhadap kasus buruh migran yang menggugat kecurangan atas agensi yang telah melakukan potongan ilegal.
Jaksa mengatakan agensi tenaga kerja Dobest / Chi Zhi telah melakukan pemotongan ilegal dari sebanyak 5.282 gaji pengasuh Indonesia antara tahun 2005 dan 2008 dengan total keuntungan lebih dari NT $ 221 juta (US $ 7,3 juta).
Pengadilan Tinggi Taiwan di Taichung telah memutuskan untuk mendukung yayasan tersebut dalam gugatan class action terhadap agensi.
“Ketika kami datang ke Taiwan, kami dibawa ke kantor Dobest dan diperintahkan untuk menandatangani sekumpulan kertas. Sebelumnya kami juga diminta membuat rekaman video dengan mengatakan bahwa kami dengan sukarela mengizinkan mereka untuk memotong gaji kami,” kata pengasuh Indonesia bernama Endah Yani, salah satu penggugat agensi.
Buruh migran tersebut mengatakan bahwa dirinya sepenuhnya tidak mengetahui isi dokumen tersebut, bahkan ada dokumen yang dipalsukan sehingga ia mendapat potongan drastis dari gaji bulanannya.
“Saya hanya menerima NT $ 1.800 dari gaji bulan pertama saya, dan NT $ 3.500 untuk bulan depan,” katanya. “Awalnya saya curiga, tetapi saya hanya seorang buruh Indonesia yang dipekerjakan di negara asing dimana saya tidak mengenal seseorang – kemana saya bisa mengadu?” Tambahnya.
Pengacara Yayasan Chiu Jung-ying (邱榮英) mengatakan bahwa sebagian besar pengasuh buruh migran yang terkena dampak tersebut telah mendapati sekitar NT $ 12.000 dari gajinya yang dikurangi secara ilegal dari gaji upah minimum di bawah mereka kurang dari NT $ 16.000 per bulan.
Lembaga tenaga kerja Taiwan diperbolehkan untuk melakukan pemotongan gaji pekerja asing untuk membayar biaya agensi tenaga kerja Indonesia.
Chiu mengatakan meski ada putusan pengadilan, hanya sekitar 70 pengasuh yang terkena vonis telah mengklaim kompensasi, dan yayasan tersebut telah menghubungi semua majikan mereka. Jadi tidak semua pengasuh atau care taker tersebut menerima pengembalian kompensasi tersebut karena majikan mereka takut tidak ada yang merawat pasien.
“Pengusaha takut bahwa pengurusan ini bisa mengakibatkan pengasuhnya harus pergi atau menghadiri persidangan, sehingga tidak ada yang merawat pasien mereka,” katanya Chiu. Hal tersebut mengakibatkan hanya sekitar 10 majikan yang membantu yayasan tersebut menghubungi buruh migrant, yang lain tidak mau repot.
Keputusan pengadilan tersebut mempengaruhi sekitar 1.400 buruh migrant profesi pengasuh asal Indonesia di seluruh Taiwan.
Media lokal Taipei Times juga menuliskan bahwa Kantor Perdagangan dan Ekonomi Indonesia tidak mengirim perwakilannya untuk menghadiri sebuah konferensi pers kemarin, kata Chiu.