Foto: Lita Anggraini, Koordinator Nasional JALA PRT di kantor sekretariat, Terogong, Jakarta Selatan, sumber tempo.
Koran Tempo kembali memilih dan menobatkan Tokoh Metro. Ajang ini digagas untuk mengapresiasi orang-orang yang berjasa memantik perbaikan di berbagai bidang kehidupan masyarakat Jakarta dan kota-kota sekitarnya. Mereka, dengan cara unik dan kreatif, telah membantu pemerintah mengatasi persoalan dan membuat wajah kota menjadi lebih ramah. Salah satu penerima penghargaan itu adalah Lita Anggraini.
“Siapa bilang pekerjaan ini tidak membutuhkan pengetahuan?” ujar Lita Anggraini kelahiran Semarang, 22 Oktober 1969 lantang.
“Bias gender, kelas, hingga ras, semua ada dalam hubungan antara majikan dan pembantu rumah tangganya,” Lita melanjutkan. Sekitar 30 pekerja rumah tangga (PRT) yang hari itu mengikuti Sekolah Wawasan PRT tampak serius mendengarkan ceramahnya.
Sekolah Wawasan PRT diprakarsai Lita untuk memberikan pemahaman kepada para pekerja rumah tangga bahwa mereka perlu berserikat dan mengerti berbagai aspek legal terkait dengan pekerjaannya. Tempat dan tema sekolah berganti-ganti setiap pertemuan.
Lita, Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) terpanggil untuk membela hak-hak PRT sejak masih kuliah di Universitas Gadjah Mada pada 1989. Alasannya: tak banyak orang mau melakukannya. Bersama beberapa teman, dia membentuk Forum Diskusi Perempuan Yogyakarta yang membahas feminisme, perburuhan, dan isu hak asasi manusia lainnya.
Kekerasan di Gresik terhadap Kamiatun, pembantu rumah tangga asal Ngawi, Jawa Timur, mendorongnya untuk berfokus memperjuangkan hak PRT. Mula-mula dia bersama lembaga swadaya masyarakat Rumpun Tjoet Njak Dien mengadvokasi dan mengorganisasi PRT di Yogyakarta. Pada 1997, ia membentuk jaringan perlindungan PRT Yogyakarta dan mendesak diterbitkannya peraturan daerah tentang perlindungan PRT.
Belakangan, Lita menyadari sulit mengupayakan perlindungan konstitusional bagi PRT jika mereka hanya bergiat di lingkup regional. Karena itu, pada 2004 dia bersama beberapa organisasi perempuan lain yang memiliki visi serupa mendirikan Jala PRT dan memboyong program advokasi mereka ke Jakarta.
Selain memperjuangkan Undang-Undang Perlindungan PRT, Jala PRT aktif mendampingi pekerja rumah tangga yang dianiaya majikannya. Tahun 2016 Jala PRT menangani 218 kasus di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Sepanjang tahun ini, hingga Juli sudah terdapat 114 kasus.
Salah satu kasus yang mereka advokasi adalah penganiayaan Toipah, 22 tahun, oleh Fanny Syafriansyah alias Ivan Haz, anak mantan wakil presiden Hamzah Haz. Agustus tahun lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhirnya memvonis Ivan Haz dengan hukuman penjara 1,5 tahun.
Toipah merasa beruntung didampingi Jala PRT saat bersengketa. Banyak PRT yang mengalami penganiayaan belum tentu memperoleh pendampingan. Mereka membutuhkan perlindungan undang-undang.
Sebenarnya Rancangan UU Perlindungan PRT sudah masuk Program Legislasi Nasional pada 2004-2009, tapi tak kunjung diundang-undangkan. Lita optimistis bisa menjebol kebuntuan legislasi itu kalau mereka berserikat.
“Semakin banyak serikat terbentuk, dorongan untuk membentuk aturan perlindungan PRT akan semakin luas,” ujar penerima penghargaan Ashoka Fellowship ini kepada para peserta Sekolah Wawasan PRT.
Kerja keras Lita Anggraini untuk membela pekerja rumah tangga mendapat perhatian dari juri Tokoh Metro 2017. Sebagai bentuk apresiasi, tim juri menempatkan sarjana hubungan internasional Universitas Gadjah Mada ini sebagai pemenang bersama delapan tokoh lainnya. (Ol)