Sebelas orang TKI Nelayan yang bekerja di kapal berbendera Taiwan mengadukan persoalannya ke Crisis Center BNP2TKI pada Kamis (21/7/2016). Mereka mengadu terkait hak normatifnya yang tidak dipenuhi oleh perusahaan pemilik kapal seperti hak gaji, makan, kesehatan dan Perjanjian Kerja Laut yang beda dengan pekerjaan.
Nelayan Indonesia mengaku saat bekerja di kapal Taiwan yang bersandar di Teheran, Iran selama dua bulan mendapatkan perlakuan tidak adil dibanding nelayan Filipina dan Taiwan.
Perlakuan tidak manusiawi antara lain hanya makan dua kali dengan menu nasi dan sayur sawi padahal pekerjaannya berat. Tidak boleh tambah karena dilarang oleh kapten. Sementara nelayan Taiwan mendapat makan 4 kali per hari dengan lauk yang layak, seperti daging, ikan dan lainnya.
“Padahal jabatan sama sebagai Anak Buah Kapal,” jelas Gustin, salah satu dari sebelas ABK.
Nelayan Indonesia bekerja siang hari dengan suhu yang sangat panas, sementara nelayan Taiwan bekerja malam hari yang suhunya lebih sejuk. Air minum yang diberikan juga tidak layak karena ditampung dalam penampungan air dari besi tua berkarat, airnya berwarna kuning.
Saat ABK Indonesia mengalami sakit, kapten dan agen tidak membawa ke dokter untuk perawatan. Yang dilakukannya hanya membeli obat alergi dan air infus. Membeli air infus juga mubazir karena tidak ada satu pun yang bisa memasukkan jarum infus ke tubuh TKI Nelayan yang sakit. Demikian disampaikan oleh Gustin mewakili temannya pada saat mengadu di Crisis Center BNP2TKI sebagaimana dirilis dari website sbmi.or.id.
“Ironisnya pada saat yang sama ABK Taiwan ada yang sakit langsung di bawa ke dokter untuk dirawat.” Ungkap Gustin.
Sebanyak 11 nelayan Indonesia yang dipulangkan pada 18 Juli 2016 tersebut memberikan kesaksian bahwa hal-hal tersebut dialami mereka karena daya tawar perusahaan perekrut TKI Nelayan sangat lemah, sehingga diperlakukan sangat tidak manusiawi. Hal itu bisa dibandingkan dengan ABK nelayan Filipina yang diperlakukan baik oleh kapten maupun agennya.
Abdul Kholik salah satu dari ABK Indonesia yang dipulangkan mengatakan jika dalam Perjanjian Kerja Laut, ia mendapat job sebagai nelayan, namun sesudah sampai di pelabuhan Teheran, ia bekerja memperbaiki kapal, membersihkan badan kapal dari karat, mengecat dan apa saja yang diperintahkan oleh kapten.
Eko TKI Nelayan lainnya menambahkan dua bulan bekerja dikapal Taiwan hanya mendapat upah sekitar Rp. 600 ribu. Padahal janjinya USD 300 per bulan. Kasus ini mengungkap adanya diskriminasi dalam pemberlakuan besaran gaji minimum antara buruh migran nelayan asal Indonesia dengan negara lain pada jabatan yang sama sebagai awak buah kapal.
Gaji nelayan Indonesia sebesar USD 250 per bulan, sementara asal Filipina minimumnya USD 600. Sementara besaran gaji buruh Taiwan mencapai USD 1200.
Menurut Team Koordinator Advokasi SBMI ketimpangan gaji ini menimbulkan tanda tanya besar, kondisi ini mengesankan pemerintah dan perusahaan perekrut buruh migran nelayan Indonesia tidak memiliki daya tawar dimata perusahaan negara tujuan penempatan.
Kesan lainnya, pemerintah tidak serius menyejahterakan buruh migran. Ketimpangan ini juga menjadi tanda bahwa pemerintah membiarkan penindasan terhadap buruh migran nelayan. Team berharap agar Presiden turun tangan untuk memperbaiki situasi ini.
Sementara praktik baik dalam layanan perlindungan yang dilakukan oleh pemerintah diakui sebelas nelayan yang dipulangkan ini saat mendapat perlindungan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Iran. Praktik baik tersebut adalah petugas KBRI melakukan berbagai upaya koordinasi dengan petugas berwenang di Iran dan perwakilan negara Taiwan untuk menyelesaikan sengketa antara buruh migran nelayan asal Indonesia dengan perusahaan kapal Taiwan.
Jelang kepulangan, kesebelas nelayan difasilitasi penginapan di hotel selama beberapa hari termasuk makan enak. Situasi ini dinikmati betul dan menjadi pelampiasan setelah sebelumnya hanya dikasih makan nasi dan sayur sawi.
Sebelas Nelayan Indonesia ini bersyukur, berharap praktik baik berlaku di seluruh KBRI setiap negara, dan jadi teladan bagi para petugas seluruh instansi yang ada di Indonesia. (ol)