Menjadi TKI bukanlah cita-citnya. Tapi apalah daya, roda nasib mengantarkannya menjadi TKI di Hong Kong. Tekadnya memotong mata rantai kemiskinan begitu kuat. Menurut perempuan kelahiran Ciamis, 02 Mei 1987 ini pendidikan dan skill yang mumpuni salah satu solusi bisa memotong mata rantai kemiskinan itu. Karenanya, selama bekerja di Hong Kong, selama itu pula ia meluangkan waktunya untuk belajar meneruskan pendidikannya.
Kini, Heni Sri Sundani meski berasal dari keluarga rata-rata namun telah berhasil meraih gelar BSEM (Bachelor Of Science In Entrepreneurial Management) dari Saint Mary’s University- Hong Kong (2008-2011). Ia bangga meski ibunya hanya petani dan sempat menjadi buruh pabrik di Bekasi serta ayahnya seorang buruh harian lepas namun kini ia bisa menjadi sarjana dan memperbaiki perekonomian keluarga.
Saat usianya belum genap dua tahun orangtua Heni berpisah. Heni kemudian diasuh oleh neneknya karena kedua orangtuanya menikah lagi. Kemiskinan bagi keluarga Heni adalah sebuah hal yang biasa. Keterbatasan seolah seperti takdir, seperti hidup dan mati yang sangat sulit untuk dirubah. Akan tetapi meski Heni tidak dibesarkan dengan pendidikan yang baik oleh kedua orang tuanya yang terpisah dan berada dalam asuhan nenek yang buta huruf, Heni tidak ingin seperti mereka. Heni ingin menjadi seseorang yang lebih baik dari segi pendidikan, lebih mandiri dari segi ekonomi dan lebih bermanfaat di masyarakat.
Pada Oktober 2005 Heni berangkat ke Hong Kong menjadi TKI. Tahun pertamanya bekerja di Hong Kong, Heni mendapat gaji sebesar HKD 2000 padahal di kontrak yang ditandatanganinya tertera HKD 3200. Tak ingin terbodohi terus menerus, Heni berusaha mencari informasi di organisasi buruh, membaca media berbahasa Indonesia, bahkan internet. Ditahun ketiga sampai tahun keenamnya ia menerima gaji yang sesuai kontrak dan bahkan sering menerima bonus.
Kesempatan merubah nasib itu datang. Selama rentang waktu bekerja di Hong Kong, Heni aktif di beberapa organisasi, baik buruh maupun kepenulisan. Aktif menulis di berbagai media berbahasa Indonesia di Hong Kong dan media Indonesia baik cetak maupun online. Akhirnya mimpi yang sempat terkubur untuk kuliah bisa terwujud.
Setelah enam tahun bekerja di Hong Kong dan lulus kuliah dari Saint Mary’s University ia tak ingin berlama-lama untuk sukses di rantau dan mandiri di negeri sendiri. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain, dan ia ingin menjadi orang yang seperti itu.
Sekembalinya ke tanah air Heni mendirikan sebuah perpustakaan gratis dengan jumlah buku lebih dari seribu judul agar masyarakat sekitar rumahnya bisa mencicipi ilmu yang didapat lewat membaca. Heni ingin cerdas dan mencerdaskan masyarakat sekitar.
Maret 2012, Heni menikah dengan Aditya Ginantaka, seorang lulusan IPB yang kini bekerja di sebuah lembaga Dompet Dhuafa. Suami Heni bekerja di bagian pendidikan, merekrut guru-guru untuk dibina dan ditempatkan di pelosok.
“Alhamdulilah saya bersyukur karena Allah mengirimkan dia ke dalam hidup saya. Jiwa-jiwa kami adalah jiwa berbagi tanpa pamrih, ingin memberi manfaat terbesar bagi sesama.” Ucap Heni yang sekarang tinggal di Bogor.
Kegiatan Heni saat ini, disamping mengisi seminar jurnaslitik dan social entrepreneur, adalah menjadi guru di salah satu sekolah ternama di Bogor yaitu School of Universe yang beralamat di Jl. Raya Parung Bogor KM 43 Jabar 16330.
School Of Universe adalah sekolah alam berjenjang dari taman kanak-kanak sampai lanjutan atas. Tingkat SMP-SMA-nya berlangsung selama 4 tahun akselarasi dan inklusi (termasuk anak special didalamnya) dengan bahasa pengantar bilingual, termasuk Bahasa Inggris.
Pertama melamar menjadi tenaga pendidik di School of Universe ini, Heni langsung menjabat sebagai wali kelas. Padahal, biasanya untuk menjadi wali kelas guru harus training dulu selama 3 bulan, dan minimal masa mengajar selama 1 tahun. Heni yang cukup fasih dalam Bahasa Inggris justru menjadi koordinator mata pelajaran bahasa Inggris.
Di sekolah yang cukup elit ini ada talenta centre-nya, dimana anak didik yang special itu ada pendampingnya sendiri, namanya shadow teacher. Satu kelas ada dua guru dan tiap satu anak special didampingi oleh seorang shadow teacher. Kecuali anak didik yang sudah cukup mandiri, 3 anak didampingi oleh 2 shadow teacher.
Heni, pernah dicalonkan sebagai salah satu nominasi TKI Purna Award yang diselenggarakan oleh Pemprov Jabar.
“Yang TKI Purna Award ini sebenarnya saya tidak tahu banyak, tiba-tiba saja dihubungi dan diinformasikan kalau saya direkomendasikan oleh Unimig dan Bapak Ghofur, mantan Direktur Dompet Dhuafa Hong Kong. Saya didatangi lagi untuk wawancara dan tanggal 6 Desember kemarin saya baru saja dari Disnakertrans, guna mengikuti beberapa tahap penyeleksian selanjutnya,” jelas Heni yang masuk peserta TKI Award 15 besar, dan akan mengikuti seleksi berikutnya ke tahap 5 besar di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Jawa Barat pada tanggal 17-18 Desember 2012.
Meski sehari-hari disibukkan dengan dunia pendidikan dan kepenulisan, Heni masih memiliki memiliki usaha sampingan dengan menjadi reseller produk-produk rumahan. Yang memotivasinya bukanlah profit oriented melainkan ingin membantu memasarkan hasil produksi ibu-ibu rumah tangga yang berusaha membantu perekonomian keluarganya.
“Saya senang melakukan ini (menjadi reseller—Red) meskipun labanya tak seberapa, apalagi kegiatan saya ini didukung penuh oleh suami.”
Banyak orang bangga dengan aktivitas Heni, meski mantan TKI namun bisa menorehkan prestasi. Lulus kuliah dengan IPK 3,81 dan menyandang predikat salah satu mahasiswa terbaik, tetap nulis dan memenangkan berbagai perlombaan, bisa menjadi trainer, dan sekarang menjadi guru di sekolah cukup ternama.
“Meski kasarnya pekerja pembantu, tapi toh jiwa, keinginan, otak, motivasi dan cita-cita tak harus ikut-ikut menjadi pembantu pula.,” jelas Heni yang juga terpilih sebagai nominator Bilik Sastra award RRI Pusat (2012).
“Kita bisa menjadi apapun yang kita inginkan. Kuncinya jangan biarkan diri kita terbelenggu oleh semua keterbatasan itu. Jiwa dan pikiran bebas memilih mau menjadi orang seperti apa. Ajak diri untuk terus memperbaiki kualitas dan mengupgrade kapasitas diri agar memudahkan jalan untuk mencapai apa yang diinginkan,” lanjutnya.
Menjadi TKI bukanlah aib, bukan pula tujuan hidup, melainkan hanya sebuah jembatan untuk meraih yang diinginkan. Ubah mindset dan paradigma masyarakat, bahwa menjadi TKI bukan hal yang buruk, sama seperti profesi lainnya, asalkan tidak mengambil hak orang lain, bisa menyelesaikan semua tugas dan tanggung jawab dengan baik dan mempertanggungjawabkannya kelak dihadapan Allah.
“Hidup dan perjuangan akan terus bergulir, selagi kita memegang mimpi-mimpi. Dan saya memiliki banyak mimpi sama seperti orang lain. Bedanya, mereka memiliki mimpi dan “modal financial” yang siap untuk mencapai mimpinya. Sementara saya hanya optimis, tekad yang kuat serta doa tiada henti kepada Allah agar menguatkan dan memudahkan semua jalan saya dalam mewujudkan mimpi-mimpi.” Pungkas Heni yang masih bermimpi untuk melanjutkan S2-nya di luar negeri.*(ol)