Buruh memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan dengan menuntut penghapusan upah padat karya. Peringatan yang digelar pada Sabtu (25/11/2017) ini, untuk mengingatkan pentingnya menghapus kekerasan pada perempuan. Buruh menganggap upah padat karya merupakan bentuk kekerasan sistematis pada perempuan.
Ketua Bidang Perempuan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Dian Septi mengatakan, upah padat karya adalah upaya pemiskinan sistematis, terutama pada perempuan. “Mayoritas buruh di sektor padat karya merupakan perempuan,” ujarnya.
Dian menegaskan, peraturan upah padat karya di empat kabupaten/kota di Jawa Barat memungkinkan pengusaha membayar upah buruh hingga Rp 600 ribu lebih murah dari upah minimum.
Sekedar informasi, berdasarkan Permenperin 51/2013 menetapkan upah padat karya diperuntukan bagi industri makanan, minuman, tembakau, tekstil, pakaian jadi, kulit, alas kaki, mainan anak, dan furnitur dengan buruh lebih 200 dan komponen upah lebih 15 persen.
Ketua Umum KPBI Ilhamsyah menyayangkan adanya dukungan politik upah murah dari pucuk pimpinan pemerintahan. Ia juga heran dengan adanya kelompok buruh yang memberi legitimasi pada penerapan upah padat karya.
“Tidak tanggung-tanggung, rapat pemutusan UPK ini langsung dikoordinasikan oleh Wapres JK dan Gubernur Jawa Barat,” katanya.
Ilhamsyah menilai penetapan Upah Padat Karya bertentangan dengan Undang-undang. Undang-undang 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya pasal 90 yang menegaskan sanksi hingga 4 tahun dan denda hingga 400 juta bagi yang membayar buruh di bawah upah minimum.
Aksi ini juga untuk mengingatkan, ke depan penerapan upah murah bisa terjadi tidak hanya di Jawa Barat. Upah murah bisa diterapkan lintas sektor dan provinsi dengan alasan yang mengada-ada untuk kepentingan pemilik modal.
Perwakilan Pokja Buruh Perempuan dari Federasi Serikat Umum Indonesia (FSUI) Ajeng Pangesti Anggriani mengatakan, Jakarta sangat berpeluang menjadi sasaran berikutnya. “Kalau berhasil di Jawa Barat, saya yakin akan diterapkan di Jakarta. Buruh akan ditakut-takuti dengan banyaknya pabrik yang pindah ke daerah,” ujarnya.
Ajeng menjelaskan, saat ini pengusaha terus meneror buruh-buruh perempuan di sektor padat karya di Jakarta. “Sampai-sampai tidak istirahat makan mengejar target. Ini menjadi kesempatan pengusaha menerapkan upah padat karya,” imbuh pekerja di KBN Cakung ini.
Selain itu, wilayah-wilayah lain tempat sasaran relokasi pabrik seperti Jawa Tengah juga berpeluang menerapkan ini jika tidak segera dibendung. “Pemimpin daerah seakan-akan sedang bersaing daerahnya punya upah buruh lebih murah. Sudah terjadi,” jelasnya. Sementara, upah minimum di Jawa Tengah sudah tergolong rendah yaitu Rp 1,48 juta.
Buruh juga terus memprotes penerapan PP Pengupahan 78/2015 untuk menentukan besaran upah minimum. Buruh menolak PP Pengupahan untuk segera dicabut. Selain menghilangkan hak berunding buruh, produk hukum itu memangkas daya beli buruh dan bertentangan dengan Undang-undang 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang tersebut mewajibkan penentuan upah berdasarkan survey Komponen Hidup Layak, bukan berdasarkan inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi.
Aksi Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan ini diikuti Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Kelompok Kerja Buruh Perempuan, Federasi Serikat Umum Indonesia, Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Perempuan Mahardhika, Gabungan Serikat Buruh Mandiri, dan SBSI92. (yw)