Setiap 16 Juni diperingati sebagai Hari PRT Internasional, karena pada tanggal itu Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak Untuk PRT diadopsi di Konfrensi Perburuhan Internasional 2011, di Genewa, Swiss.
Bapak Presiden e 6 Susilo Bambang Yudhoyono berpidato saat itu, mengajak semua negara untuk melindungi PRT. Sayangnya sampai sekarang Konvensi ILO 189 belum juga diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Padahal Indonesia adalah salah satu negara pengirim PRT tebesar dan yang dominasi TKI adalah tenaga kerja di bidang rumah tangga sebagai penyumbang devisa terbesar ke 2.
Konvensi ILO 189 sebenarnya hanyalah upaya untuk mendorong PRT agar dihargai seperti pekerja/buruh lain. Tidak lebih. Faktanya banyak PRT jam kerjanya lebih panjang dari buruh di pabrik-pabrik. Tapi kenapa PRT tidak punya hak yang sama?
Kenapa PRT tidak disejajarkan dengan pekerja lain? Di Lapangan PRT digaji minim, tidak ada cuti, tidak menjadi anggota BPJS, tidak ada pensiun dan hak-hak normatif buruh lainnya tidak terpebuhi.
Alasan pemerintah tidak meratifikasi Konvensi ILO 189, adalah kekuatiran bahwa Konvensi itu bertentangan dengan budaya Indonesia. Padahal jika budaya yang dimaksud adalah ngenger, mungkin alasan itu kurang tepat karena Konvensi ini telah menegaskan hanya berlaku untuk orang yang mencari nafkah dengan bekerja sebagai PRT.
Jadi, kalau orang numpang di rumah keluarga di kota karena sekolah dan selepas sekolah bantu-bantu, itu tidak dikategorikan PRT. Tentu budaya yang dimaksud bukanlah budaya yang terkesan memperbudak atau tidak memanusiakan PRT. Karena kita tentu tidak ingin membenarkan kebiasaan yang salah, tapi mulai membiasakan yg benar. Banyaknya praktek perbudakan modern yang menimpa PRT tentu bukanlah budaya yang dianggap bertentangan dengan KILO 189.
Budaya yang baik memanusiakan manusia. Bukan praktek feodal yang justru menistakan manusia yang banyak dialami PRT. Tanpa penghargaan terhadap profesi PRT, pada akhirnya majikan sendiri yg akan kesulitan. Kita tau semua tau bagaimana peran penting PRT ikut berjasa menggerakan perekonomian Negara bahkan dunia. PRT adalah pekerja bukan pembantu.
Estimasi ILO pada tahun 2009 menyebutkan jumlah PRT di seluruh dunia sebanyak 50 juta orang. Sementara di Indonesia diperkirakan sekitar 3 – 4 juta orang bahkan lebih bekerja sebagai PRT. Bisa dibayangkan bagaimana para tokoh penting bisa bekerja dengan tenang di luar rumah tanpa bantuan PRT.
Menyadari pentingnya peran PRT, maka sudah sepantasnya PRT dan majikan saling butuh, bukan saling bunuh. Semua ini tentu saja membutuhkan dukungan semua pihak. (ol)