Foto: Ilustrasi TKI yang diberangkatkan ke luar negeri penuh dengan manipulasi data. (Imam Husein/Jawa Pos)
Katanya tenaga kerja Indonesia (TKI) itu pahlawan devisa. Tapi, perhatian dan perlindungan pemerintah dirasa masih jauh dari harapan. Hong Kong Itu tak seindah foto-foto di Instagram, tak semanis gambar-gambar di Facebook. Demikian kata Fera Nuraini, mantan TKI Hong Kong yang saat ini buka usaha tiwul di kota kelahirannya Ponorogo Jawa Timur.
Sepuluh tahun bekerja di Hongkong, perempuan asal Ponorogo itu memang lebih kerap mendapatkan pengalaman pahit daripada manisnya. Kenangan pahit itu pun belum hilang hingga kini. Saat dia sudah dua tahun meninggalkan Hongkong.
Fera mengaku masih dilanda trauma. Bekas luka akibat siksaan majikan memang telah hilang. Namun, batinnya masih terasa sakit setiap mengingat perjalanannya di Hongkong.
“Lebih banyak sedihnya. Tapi, semua itu jadi pelajaran bagi saya,” ungkapnya saat berbincang dengan Jawa Pos di rumahnya di Desa Kunti, Sampung, Ponorogo.
Pengalamannya itu seharusnya juga menjadi pelajaran bagi lainnya. Bagi pemerintah. Tak terkecuali pemerintah asal TKI atau tenaga kerja wanita (TKW).
Dari apa yang dialami Fera, perlindungan dan pendampingan pemerintah terhadap TKI, terlebih TKW, masih jauh dari harapan. Termasuk perlindungan dan pendampingan di kampung halaman. Saat seseorang itu hendak berangkat bekerja sebagai buruh migran. Mereka -para pekerja migran- dibiarkan berangkat begitu saja.
Fera ingat betul saat awal dirinya berangkat bekerja ke luar negeri beberapa tahun silam. Awalnya dia ogah-ogahan belum memiliki pengalaman kerja. Jangankan di luar negeri, bekerja di luar kota pun belum pernah dilakoni. Sudah begitu, ijazahnya hanya SMA.
Usia Fera masih 20 tahun saat itu. Belum cukup umur untuk menjadi buruh migran. Sebab, berdasar aturan, TKW harus berusia minimal 21 tahun untuk bisa mendulang rezeki di negeri orang.
Perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) mengakali problem tersebut. Dokumen Fera diubah. Usianya ditulis lebih tua daripada umur aslinya. Fera akhirnya berangkat dengan bekal dokumen palsu. Mulai akta kelahiran, KTP, hingga paspor, semua tak asli.
Ternyata, persoalan belum berakhir. Kontrak yang ditandatangani tidak sesuai dengan harapan. Nilai gaji lebih kecil daripada angka yang tertulis di perjanjian. Yang lebih menyakitkan, aktivitas yang dikerjakan Fera saat berada di luar negeri berbeda dari catatan di kontrak.
Sejak itu hidup Fera seperti masuk ke dalam neraka. Pengalaman pertama bekerja memprihatinkan. Majikan tidak pernah memberikan libur. Dia tidak pula diberi uang ganti libur. Sementara kekerasan hampir setiap hari dirasakan. Bahkan, dia pernah diusir majikannya saat malam. Fera hanya bisa bersabar. Tidak ada yang bisa dilakukan untuk lepas dari tekanan.
Siksaan demi siksaan majikan sempat membuat Fera disaput frustrasi. Fera pernah berniat bunuh diri dengan melompat dari lantai 2 rumah majikannya. Pengalaman pahit memunculkan banyak pertanyaan di benak Fera. Salah satunya terkait dengan peran pemerintah.
Memang ada kedutaan di luar negeri. Namun, ungkap Fera, tidak mudah berhubungan dengan kantor tersebut. Dia tak bisa leluasa bepergian. Kalaupun bisa, waktunya hanya malam. “Sedangkan kantor sudah tutup saat malam. Saya juga tidak punya akses ke kedutaan,” ucapnya.
Peran pemerintah di kampung asal TKW juga tak luput dari pertanyaannya. Fera dan para pekerja migran Ponorogo tak pernah disentuh pemerintah. Baik itu saat hendak berangkat bekerja maupun ketika pulang. Tak pernah ada pendampingan, pengarahan, atau hal-hal lain yang bisa menjadi bekal mereka untuk bekerja di negeri orang. Padahal, di Ponorogo, seperti diakui Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Ponorogo Bediyanto, ada 5.000 warganya yang bekerja di luar negeri.
Kurangnya peran pemerintah juga diutarakan Sriati, warga Desa Ronosentanan, Kecamatan Siman, Ponorogo. Sebelumnya dia juga sepuluh tahun bekerja di Hongkong. Kini dia memilih istirahat di kampung.
Memang, sebelum benar-benar berangkat, mereka tetap mendapat bekal. Tapi bukan dari pemerintah. Melainkan dari PJTKI yang diselenggarakan melalui aktivitas penampungan. Dan itu tidak gratis. Para buruh migran terpaksa mengeluarkan banyak uang. Minimal Rp 3 juta.
Tanpa bekal dan pendampingan maksimal pemerintah, para TKI atau TKW sekitar sepuluh tahun lalu memang kerap menjadi objek. Bukan saja oleh majikan, tapi juga oleh PJTKI.
Disampaikan secara terpisah, beda dengan sepuluh tahun lalu, sekarang Pemkab Ponorogo tak pernah mengabaikan perlindungan kepada TKI. Menurut Bediyanto, saat ini dinasnya aktif memberikan pembekalan kepada TKW sebelum berangkat. Para TKW diberi pelatihan agar bisa memanfaatkan gajinya secara benar. Mereka pun diajari berwirausaha. (Ol)