Foto: ilustrasi TKI Sumber kompas.com
Kasus penganiayaan terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia menambah panjang deretan nasib suram dan kisah tragis “para pejuang devisa” di Negeri Jiran.
Di satu sisi, menjadi TKI adalah bagian dari upaya mencari peluang hidup yang lebih menjanjikan di luar negeri. TKI berharap dapat membantu keluarga di kampung halaman sehingga dapat hidup lebih sejahtera. Namun, di sisi lain ada risiko yang mengancam jiwa mereka kapan saja dan di mana saja.
Atas peristiwa itu, Hani Adhani, seorang mahasiswa program Doktor Ilmu Hukum International Islamic University Malaysia (IIUM) Wakil Koordinator Hukum dan Advokasi PPI Malaysia mengemukakan opininya di kompas.com
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia baru saja disahkan pada 22 November 2017. UU ini menggantikan UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
UU tersebut dibuat untuk memperbaiki berbagai kelemahan yang ada dalam UU No. 39/2004 sebab tujuan utama penyempurnaan UU tersebut agar para TKI semakin terlindungi sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
Semangat penerbitan UU 18/2017 adalah agar para TKI terlindungi dari praktik perdagangan manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia.
Selain itu, UU tersebut lebih menekankan dan memberikan peran lebih besar kepada pemerintah dan mengurangi peran swasta dalam penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia.
UU 18/2017 ini menjadi regulasi yang lebih baik dan dapat menjadi patokan untuk menjadikan TKI lebih memiliki bargaining position yang jelas sesuai dengan skill dan kompetensi yang dimiliki.
Dengan pengesahan UU baru tentang perlindungan pekerja migran ini, seharusnya para TKI kita lebih pede dalam hal memperjuangkan hak-haknya, meskipun mereka bekerja hanya sebagai pekerja rumah tangga ataupun buruh pabrik.
Kasus yang dialami oleh TKI tentunya tidak boleh dianggap sepele, terlepas berstatus sebagai TKI legal atau ilegal.
Kasus mereka terjadi akibat adanya kelalaian negara yang tidak melakukan proses pengawasan dan kontrol yang ketat terhadap para TKI dan terhadap pemberi kerja.
Negara, dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan, harus bekerja ekstra untuk mengawal semua TKI yang tercatat sebagai pekerja migran yang bekerja sesuai dengan aturan UU 18/2017.
Apabila masih ada temuan berbagai kasus pemberi kerja bermasalah, yang pada akhirnya dapat menyebabkan korban bagi para pekerja migran kita, negara wajib berupaya melindungi secara maksimal agar pekerja migran kita tidak menjadi korban.
Begitu pun apabila ternyata ada fakta pekerja migran ilegal asal Indonesia, maka negara wajib segera memulangkan tenaga kerja tersebut ke Tanah Air.
Selain itu, terhadap para TKI yang bandel dan sudah berulang kali menjadi tenaga migran ilegal dan menjadi “TKI kutu loncat”, mau tidak mau dan suka tidak suka negara harus berani mencabut semua administrasi imigrasinya, termasuk mencabut paspor TKI tersebut.
Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi adanya hal yang justru lebih buruk bagi TKI tersebut saat berada di negara lain sebab pekerja migran ilegal pasti sangat rentan terhadap tindakan sewenang-wenang, baik dari pemberi kerja ataupun dari aparat penegak hukum di negara tempat mereka bekerja.
Hal paling urgen yang harus dilakukan negara pasca-tragedi Adelina dan Santi adalah dengan melakukan proses pendataan dan verifikasi ulang terhadap seluruh pekerja migran Indonesia di Malaysia pasca-penerbitan UU 18/2017.
Pendataan itu harus dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif dengan melibatkan seluruh stakeholder yang ada, bekerja sama dengan Pemerintah Malaysia dan melibatkan para profesional WNI di Malaysia serta para mahasiswa yang sedang belajar di sana.
Selain itu, Pemerintah Indonesia dengan dibantu Pemerintah Malaysia berkewajiban memantau dan mengevaluasi pemberi kerja sebagaimana diamanatkan UU Perlindungan Tenaga Migran Indonesia.
Apabila ternyata ada pemberi kerja bermasalah, negara wajib menghentikan proses kerja sama dan melakukan upaya hukum apabila ternyata pemberi kerja telah melanggar perjanjian kerja dan mengindahkan hak-hak para TKI.
Hal lain yang juga harus segera dilakukan oleh negara adalah membuat moratorium baru yang disesuaikan dengan UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia sehingga Pemerintah Malaysia berupaya membantu dan memberikan pengawasan menyeluruh terhadap pekerja migran Indonesia dan pemberi kerja.
Demikian opini Hani Adhani. Semoga Presiden Joko Widodo segera membenahi mekanisme dan regulasi pekerja migran Indonesia sebagaimana diamanatkan UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dan segera melakukan moratorium baru dengan pemerintah Malaysia agar kasus Adelina dan Santi tidak terulang lagi di masa yang akan datang. (Ol)