Foto ilustrasi diambil dari Shutterstock.
Untuk menekan bahkan menghilangkan orang Indonesia, terutama perempuan, menjadi TKI di luar negeri, serta membuat jera pelaku perdagangan manusia bertopeng pengiriman TKI pemerintah harus memberdayakan ekonomi masyarakat desa, terutama di daerah-daerah yang selama ini menjadi sumber TKI ke luar negeri.
Pemberdayaan ekonomi desa ini seperti adanya suntikan modal dari pemerintah untuk masyarakat yang mau berwirausaha. Hal itu dikatakan Edi Hardum, penulis buku “Perdagangan Manusia Berkedok Pengiriman TKI” dalam acara diskusi dan bedah bukunya di Jakarta, Kamis (6/4).
Tampil sebagai pembicara dan pembedah buku tersebut adalah Direktur Justice, Peace, Integrity and Creation (JPIC) OFM, Peter Aman; Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo; Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja, Kemnaker, Maruli A Hasoloan; Ketua Umum Asosiasi Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI), Ayub Basalah.
Menurut Edi yang juga wartawan senior Harian Umum Suara Pembaruan pemerintah harus giat melakukan pelatihan dan pendidikan wirausaha untuk masyarakat, seperti melatih dan mendidik untuk menjahit, menenun, membuat bakso, dan lain sebagainya. Ditambah mendidik dan melatih masyarakat untuk membangun koperasi.
Sejak awal Mei 2015 pemerintah menghentikan pengiriman TKI PRT ke 21 negara di Timur Tengah. Alasannya, banyak TKI menjadi korban kekerasan. Namun, kata Edi, kebijakan tersebut tidak menyelesaikan masalah bangsa kalau tidak diikuti dengan usaha membangkitkan perekonomian masyarakat terutama di kantong-kantong TKI.
Setiap bulan sebanyak minimal 10.000 TKI PRT ilegal dikirim ke luar negeri melalui jalur perorangan. Kebijakan penghentian pengiriman TKI ke-21 negara itu justru menyuburkan pengiriman TKI PRT ilegal.
Selain itu, Edi yang masih berstatus mahasiswa S2 Ilmu Hukum UGM ini meminta pemerintah terus berkampanye soal pentingnya masyarakat, terutama perempuan, untuk tidak menikah di usia muda. Paling tidak, perempuan menikah minimal 24 tahun dan lelaki minimal 27 tahun.
Yang terpenting aparat penegak hukum harus menghukum orang tua yang mengijonkan anak perempuannnya untuk dinikahkan kepada pria berduit. Orang tua seperti ini harus dijerat dengan UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
“Ada daerah tertentu di Indonesia ini yang mengijonkan anak perempuannya kepada pria hidup belang atau pelaku perdagangan perempuan,” kata Edi sebagaimana dikutp Fajar.co.id.
Selanjutnya, kata Edi, agar perdagangan manusia berkedok pengiriman TKI hilang maka penegakkan hukum harus tegas. Polri harus tegas menerapkan UU 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri atau UU Pengganti UU ini yang tengah dibahas dalam revisi di DPR.
Menurut Edi, UU 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah UU yang progresif. Pasalnya, pertama, UU ini menggunakan asas minimal yakni dihukum minimal tiga tahun penjara. Kedua, UU ini mengatur soal keterlibatan masyarakat dalam memberantas tindak pidana perdagangan orang (Pasal 60). (3) UU ini juga membicarakan soal kerjasama internasional dalam memberantas tindak pidana perdangan orang (Pasal 59).
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, polisi juga harus menerapkan UU terkait lainnya seperti UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri, UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskrinasi terhadap Wanita.
Edi meminta Kementerian Kenegakerjaan, BNP2TKI harus terus bersikap tegas terhadap Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) nakal. Kalau izin operasional perusahaan sudah dicabut, jangan diberikan izin lagi. Nama-nama PPTKIS yang sudah dicabut izinnya juga harus diumumkan di media massa, bila perlu diiklankan. Selama ini nama-nama PPTKIS yang nakal dan dicabut izinnya cuma ditulis inisialnya saja. Itu dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada PPTKIS yang bersangkuatan untuk “nego” dengan pihak tertentu di Kemnaker.
Layani calon tenaga kerja Indonesia dan TKI yang masih berada di luar negeri secara online. Pelayanan seperti ini dapat mencegah penipuan CTKI ke luar negeri, baik sebagai TKI yang bekerja di sektor formal maupun TKI yang bekerja di sektor domestic worker. Dengan sistem online maka seluruh masyarakat Indonesia bisa mengetahui secara pasti di negara mana butuh tenaga kerja apa, persyaratannya seperti apa, dan sebagainya melalui Layanan Satu Atap.
Pelaku tindak pidana perdagangan orang ialah orang-orang yang berdiri sendiri, seperti calo yang mempunyai jaringan dengan PJTKIS, orang-orang yang merupakan pengurus atau bahkan pimpinan dari PJTKIS, oknum birokrat dan oknum aparat keamanan seperti TNI, Polri, kejaksaan, dan hakim. Sehingga tindakan kejahatan mereka selalu “terlindungi”. Hal ini dilakukan pelaku semata-mata untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomi.
Tindak pidana perdagangan orang yang bertopeng pengiriman TKI ini terjadi karena tidak berfungsinya negara. Tidak berfungsinya negara berarti juga tidak berfungsinya hukum. Padahal dalam teorinya, Indonesia adalah negara demokrasi. Sebagai negara demokrasi, Indonesia adalah negara hukum. Artinya Indonesia menjujung tinggi hukum dan hak asasi manusia. Konsekwensinya, dalam kehidupan bernegara, pemerintah wajib melindungi seluruh warga negara Indonesia dari segala bentuk penjajahan dan ancaman. Karena lemahnya penegakan hukum maka banyak pejabat dari instansi pemerintah serta oknum aparat keamanan ikut terlibat dalam tindak pidana perdagangan orang.
Menurut penulis, Jika permasalahan TKI ingin berkurang maka pemimpin Kemnaker dan BNP2TKI harus berasal dari orang non partai politik. Begitu berkuasanya parpol di zaman reformasi ini, maka banyak pelaku tindak pidana perdagangan orang terutama yang bertopeng TKI menyusup ke sejumlah Parpol. Mereka ini memberi “upeti” kepada parpol-parpolnya dan aparat penegak hukum. Akibatnya mereka tidak bisa ditindak secara hukum. Dalam konteks seperti inilah dikatakan negara terhegemoni oleh partai politik sebagaimana dijelaskan Antonio Gramsci. (ol)