Foto ilustrasi diambil dari shutterstock
Migrant Care menyebutkan dalam kurun waktu Mei 2015 – Mei 2016 ada sebanyak 2.644 WNI yang diduga menjadi korban trafficking. Mereka tersebar di Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Yordania, Qatar dan Kuwait.
Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah mengatakan, adanya WNI yang menjadi korban trafficking menandakan kalau program pemerintah soal perdagangan manusia atau trafficking belum berjalan maksimal. Dan, jika ditemukan kasus, yang dilakukan pemerintah hanya sebatas pemulangan saja.
Seharusnya, pemerintah juga melakukan pendampingan pasca pemulangan korban trafficking ke kampung halaman, hingga kondisi psikis dan fisik korban pulih.
Satgas Pemberantasan Human Trafficking juga dinilai tidak bekerja maksimal. “Satgas harus bekerja lebih maksimal lagi. Selama ini, kinerja mereka belum nampak,” ujar Anis, Kamis (25/8/2016).
Untuk meminimalkan trafficking, Anis mendesak pemerintah dan DPR untuk menuntaskan pembahasan legislasi penggantian UU No. 39/2004 dengan UU Perlindungan Buruh Migran Indonesia yang berorientasi pada perlindungan, memaksimalkan tanggungjawab konstitusional negara yang menjamin keselamatan warganya, mengakhiri era monopoli penempatan buruh migran oleh sektor swasta dan mendesentralisasi tatakelola migrasi tenaga kerja sebagai bentuk pelayanan publik negara.
Anis mengatakan, pemerintah, dalam hal ini Kementrian Ketenagakerjaan, masih menolak memasukkan seluruh prinsip non-diskriminasi dan hak-hak buruh migran dalam Konvensi Buruh Migran yang telah diratifikasi melalui UU No.6 Tahun 2012.
Sementara itu, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dalam maraknya trafficking, akan bekerjasama dengan semua pihak, termasuk Interpol. Direktur Pengamanan dan Pengawasan BNP2TKI, Brigjen Pol Nurwindianto kepada IndosuarA mengatakan, kerjasama dengan semua pihak diperlukan, mengingat permasalahan trafficking terutama buruh migran sangat kompleks. (yw)