Foto diambil dari BBC.
Berdasarkan penelitian Yayasan Tunas Alam Indonesia (Santai) tahun 2015, di Desa Wanasaba, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat terdapat lebih dari 350 anak (0-18 tahun) yang ditinggal oleh ibu atau bapak dan bahkan keduanya untuk bekerja di negara-negara seperti Malaysia, Singapura, Hong Kong dan negara-negara Timur Tengah. Jumlah yang hampir sama juga ditemukan di desa tetangganya, Desa Lenek Lauk.
Ratusan anak yang ditinggalkan orang tuanya bekerja ke luar negeri tersebut setiap harinya bisa dijumpai sedang belajar kelompok pada sebuah kelompok belajar yang ada untuk anak-anak buruh migran. Salah satunya Smart Class Dua Bersaudara yang mudah dijumpai di Desa Wanasaba, Kabupaten Lombok Timur.
Puluhan anak tampak antusias membaca buku bacaan di teras. Satu ruang di samping teras juga penuh dengan anak yang mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah. Ada pula kelompok bermain di sudut. Di halaman depan, anak-anak kecil dengan formasi bundar bernyanyi bersama. Setidaknya terdapat 40 anak usia sekolah, sebagian besar anak-anak yang ditinggalkan oleh ibu dan bapak untuk mencari nafkah di luar negeri sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI).
Itulah suasana kelompok belajar Smart Class Dua Bersaudara yang digambarkan jurnalis BBC Indonesia. Kelompok belajar ini diadakan setiap sore di rumah kader desa Suprihatin dan saudaranya dengan tujuan untuk memberikan perhatian khusus kepada anak-anak TKI. Belajar dan bermain bersama ini dapat menjadi saluran bagus bagi anak-anak agar mereka tidak terlalu bersedih karena ditinggal oleh ibu mereka dan bahkan oleh kedua orang tua mereka. Awalnya kegiatan belajar dan bermain tidak direncanakan diadakan setiap sore, tetapi menurut Suprihatin, anak-anak justru datang setiap hari.
Tidak bisa dibayangkan jika satu desa rata-rata sekitar 300 anak dan di Kabupaten Lombok Timur ada sekitar 250 desa berapa jumlah anak keseluruhan yang tumbuh kembangnya tanpa bimbingan orang tua. Karena itu Suharti, Direktur Yayasan Tunas Alam Indonesia, yang melakukan pendampingan anak-anak buruh migran di Lombok Timur. Banyaknya anak yang ditinggalkan oleh orang tua untuk mencari kerja patut segera diantisipasi sebab dapat menimbulkan masalah sosial.
Lombok Timur tercatat sebagai kabupaten pengirim tenaga kerja terbesar ke luar negeri dengan jumlah 15.000 lebih pada 2016 berdasarkan data pemerintah setempat. Setiap tahun mereka mengirimkan uang dalam jumlah besar untuk sebuah kabupaten yang miskin. Pada 2016, jumlah remitensi tercatat Rp820 miliar, belum termasuk uang yang dikirim pulang tanpa melalui bank, misalnya lewat teman atau tetangga yang pulang. Tahun sebelumnya jumlah kiriman TKI ke Lombok Timur Rp 966 miliar.
Di Desa Wanasaba mayoritas yang merantau adalah perempuan, sedangkan di Desa Lenek Lauk sebagian besar yang menjadi buruh migran adalah laki-laki. Hampir setiap rumah punya anggota keluarga yang bekerja di luar negeri sebagai pekerja domestik atau pekerja perkebunan dan pekerja-pekerja kasar lain. Adapun pendorong kepergian mereka dari desa-desa yang mata pencaharian penduduknya bertani itu adalah faktor ekonomi.
Lemahnya perekonomian di desa, kurangnya lapangan kerja sehingga warga memilih pergi ke luar negeri. Mayoritas pencaharian penduduk Desa Wanasaba dan Lenek Lauk adalah petani dan buruh tani namun sebagian dari mereka merasa hasil pertanian tidak sesuai dengan ongkos produksi dan keperluan hidup.
Kepala Desa Lenek Lauk, M. Zaini kepada jurnalis BBC mempersentasikan masyarakat Lenek Lauk warga laki-laki yang pergi ke Malaysia sampai 80%. Padahal sebenarnya masyarakat juga sering mengeluh seandainya ada lapangan kerja di Lombok tidak mungkin pergi ke luar negeri. Karena meninggalkan keluarga, anak, sanak famili sangat berat rasanya.
Hasil jerih payah TKI tampak nyata di kedua desa. Rumah-rumah bata berdiri kokoh dengan atap genteng, di depan rumah diparkir sepeda motor bahkan ada yang lebih dari satu. Namun demikian, diakui oleh M.Zaini, tidak semua warganya berhasil mengumpulkan uang sebagaimana yang direncanakan. Banyak pula yang tidak mujur dan ditipu oleh para calo tenaga kerja, sementara di desa mereka sudah meminjam uang atau menjual tanah untuk biaya keberangkatan ke luar negeri.
Bagaimanapun ketidakhadiran orang tua bagi anak-anak menimbulkan persoalan lain. Penelitian Yayasan Tunas Alam Indonesia (Santai) yang melakukan pendampingan anak-anak buruh migran di Lombok Timur menunjukkan kecenderungan pernikahan di bawah umur ( 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki) di Desa Lenek Lauk dan Wanasaba. Ada sekitar 136 orang anak dan 100 pasang adalah sesama anak buruh migran, ungkap Kepala Divisi Pemberdayaan Anak, Pemuda dan Masyarakat di Yayasan Santai, Zurhan Afriadi. Pendidikan diharapkan dapat mencegah pernikahan dini di kalangan anak-anak buruh migran. (ol)