Lilit Biati, dosen IAI Darussalam Blokagung Banyuwangi. Foto diambil dari Kompas.
Di Kabupaten Banyuwangi dikenal istilah cerai susuk, yaitu proses gugat cerai yang dilakukan oleh istri yang bekerja sebagai tenaga kerja wanita di luar negeri. Sebagian besar, saat terjadi proses cerai susuk posisi istri sedang bekerja di luar negeri dan mereka membiayai sendiri proses perceraiannya. Hal itu diceritakan Lilit Biati, dosen IAI Darussalam Blokagung Banyuwangi kepada Kompas.com, Kamis (23/3/2017).
Lilit dan kedua rekannya melakukan penelitian dengan judul “Cerai Susuk di Kabupaten Banyuwangi, Studi Kasus Dampak TKW Migran terhadap Keharmonisan Rumah Tangga”. Proses cerai susuk ini sama dengan gugat cerai, yaitu istri yang mengajukan perceraian dan biaya ditanggung oleh pihak istri yang bekerja sebagai tenaga kerja wanita. Kata Susuk diambil dari istilah jawa “nyusuk” atau mengembalikan. Bahasanya orang-orang Banyuwangi, disusuki bojone atau dikembalikan pasangannya. Maka dikenal istilah cerai susuk.
Lilit tertarik meneliti cerai susuk setelah bertemu dengan seorang teman yang becerita bahwa dia diceraikan oleh istrinya yang berada di luar negeri. Padahal dia selama ini mengasuh kedua anaknya sendirian selama istrinya bekerja di luar negeri.
Dari penelitian sampel 20 pasangan yang istrinya bekerja sebagai TKW, beberapa kecamatan di Banyuwangi menyumbang angka perceraian banyak antara lain Banyuwangi Kota, Licin, Kalipuro, Rogojampi, Muncar, Glenmore, Kalibaru, Purwoharjo dan Bangorejo.
Ada tujuh penyebab cerai susuk, salah satunya adalah faktor ekonomi yang diakibatkan keterbatasan suami dalam memberikan nafkah kepada istrinya. Faktor lainnya adalah penghasilan suami rendah, tidak bekerja dengan alasan merawat anak sehingga menggantungkan hidup dari kiriman istri, perselingkuhan, korban fitnah serta campur tangan dari orangtua dan keengganan istri pulang ke tanah air karena sudah nyaman bekerja di luar negeri yang menyebabkan putusnya komunikasi antara suami dan istri.
Cerai susuk biasanya terjadi ketika istri sudah bekerja minimal 3 tahun di luar negeri. Informasi didapat TKW asal Banyuwangi banyak bekerja di Taiwan, Hongkong, Singapura, Malaysia dan Brunai Darussalam. Hingga September 2016, ada 2.316 Tenaga Kerja Indonesia asal Banyuwangi, dan sebagian besar didominasi perempuan.
Sementara itu, Lilit juga menjelaskan, data dari Pengadilan Agama Banyuwangi menunjukkan, selama tahun 2016 per September, jumlah cerai talak hanya 740 kasus, sedangkan cerai gugat hampir dua kali lipat, yaitu 1.333 kasus dengan total 2.073 pengajuan.
Sebanyak 64 % adalah gugat cerai atau lebih dikenal dengan cerai susuk di Banyuwangi dan cerai talak hanya 26 persen. Bisa dilihat jumlah Tenaga Kerja Indonesia dan jumlah perceraian di jangka waktu yang sama, angkanya hampir sama. Dengan perceraian terbanyak dari tenaga kerja. Kesimpulan perekonomian jadi faktor utama TKW migran dan maraknya cerai susuk di Kabupaten Banyuwangi. (ol)