Foto diambil dari Tempo.
Human Rights Working Group (HRWG) mendesak pemerintah RI untuk melakukan moratorium kerjasama dalam skema magang, khususnya private-to-private dalam Technical Intern Training Program (TITP) dengan pemerintah dan aktor swasta di Jepang.
Deputi Direktur HRWG, Daniel Awigra mengatakan, saat ini marak praktik perekrutan tidak adil (unfair recruitment) yang ditandai dengan penarikan biaya berlebih hingga eksploitasi tanpa pengawasan dan penindakan yang tegas dari pemerintah terhadap pelaku-pelakunya saat proses pra-keberangkatan terhadap para calon pemagang.
Praktik ini terjadi saat perekrutan, pelatihan, persiapan dan pemberangkatan yang dilakukan umumnya oleh aktor swasta yang memiliki izin dari pemerintah.
Sementara, dugaan praktik korup untuk mendapat kursi pemagang di Jepang dalam skema magang government-to-government juga menguat.
Praktik merugikan ini bukan tanpa alasan, mengingat selama ini pemerintah tidak menetapkan struktur biaya penempatan.
Selain itu, skema ini hanya diatur melalui Permen Naker No. 8/2008 tentang Tata Cara Perizinan dan Penyelenggaraan Pemagangan di Luar Negeri dan para pemagang dikeluarkan dari skema perlindungan yang diatur dalam Pasal 4 (b) UU No. 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran.
HRWG mengakui kontribusi positif ekonomi atas kerjasama ini. Meski demikian, maraknya praktik eksploitasi dan pelanggaran HAM harus dihentikan.
“Dalam skema ini, kami menemukan banyak calon pemagang harus merogoh saku antara Rp. 30 sampai Rp. 80 juta. Alih-alih ingin meningkatkan keterampilan dan pengetahuan serta memperbaiki nasib dengan magang ke Jepang, sebelum mereka berangkat, mereka bahkan sudah terlilit hutang,” ujar Daniel kepada IndosuarA, Rabu (20/5/2020).
Selain moratorium, rekomendasi lain HRWG adalah melakukan renegosiasi bilateral sembari memperbaiki payung hukum perlindungan dan efektivitas pengawasannya.
Pemerintah juga harus menetapkan struktur pembiayaan yang jelas serta mendisiplinkan aktor-aktor swasta yang selama ini melakukan praktik tidak etis.
Pemerintah Indonesia juga harus meninjau kebijakan syarat pembaharuan Surat Tanda Registrasi yang jadi kendala besar bagi mantan pekerja perawat Indonesia untuk kembali berprofesi sebagai perawat di Indonesia.
“Terakhir, pemerintah dituntut untuk mendesain ulang program reintegrasi yang disesuaikan dengan karakter dan kebutuhan dalam negeri,”terang Daniel.
Sekedar informasi, setahun lalu, Pemerintah Jepang merevisi Undang-undang Keimigrasian pada April2019 dengan tujuan menjaring 340.000 pekerja asing kategori Specified Skilled Workers dari beberapa negara di Asia, termasuk Indonesia.
Skema baru ini sayangnya tidak diikuti oleh penghapusan beberapa skema penempatan tenaga kerja asing yang telah berlaku sebelumnya, yaitu TITP dan EPA.
Menurut data Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang, pada 21 Januari 2020, terdapat 51.337 orang Indonesia bekerja di Jepang dan lebih separuhnya masuk dalam kategori skema magang. (yw)